Berkontribusi Aktif Dalam Pernikahan

Disclaimer: tulisan ini adalah refleksi pengalaman pribadi penulis yang bersifat subjektif. Tidak untuk menjadi bahan pembanding karena pengalaman setiap orang adalah unik.

Perubahan status dari lajang menjadi istri, dari memiliki active income (dengan bekerja kantoran) menjadi penghasil passive income saja, ternyata membuat saya perlu banyak belajar dan mengubah mindset untuk menilai posisi diri di dalam pernikahan.

Saya memasuki dunia pernikahan tanpa mengikuti premarital counseling, karena saat itu masih belum terekspose dengan hal tersebut. Akibatnya, ketika terjun di dalam pernikahan berasa clueless memposisikan diri, menerima dan menghargai perbedaan value, serta harus berbuat apa untuk mengoptimalkan kondisi diri masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Ketika awal nikah pun terasa kagok untuk menerima uang nafkah dari suami karena ada ego “perempuan mandiri” saya yang gengsi 😛 , padahal mah itu kan memang kewajiban suami, hak istri, dan not to mention enak ada yang ngasih duit 😀 .Baca selebihnya »

Iklan

Menua

Gambar diambil dari Twitter

Ketika masih kecil, masih tidur bareng orang tua, ada masanya saya akan menangis setiap mau tidur karena takut bapak ibu saya akan menua. Saya takut kalau suatu saat orang tua saya meninggal. Di lain hari saya berencana untuk menjadi monk, agar tidak dipusingkan dengan urusan duniawi dan bisa fokus untuk beribadah saja sehingga bisa masuk surga.Baca selebihnya »