Bagi sebagian orang, Long Distance Marriage mungkin bukan pilihan. Tapi bagi kami yang dari awal berhubungan juga sudah dimulai dengan LDR, sementara sebelum menikah suami juga belum mendapatkan pekerjaan yang cocok di Jakarta, maka LDM adalah pilihan yang terbaik saat itu. Saat hidup masih baik-baik saja tanpa Covid. Saat suami bisa pulang ke Jakarta setiap weekend.
Bagaimana rasanya LDM di saat pandemi seperti sekarang? Berat di dua minggu pertama, karena kami punya kebiasaan untuk merapikan seprai bersama. Rasa kehilangan, ada yang kurang lengkap, muncul ketika aku harus merapikan seprai sendirian. Sedih banget sih rasanya saat itu, tapi ya musti dijalani.
Memasuki minggu ketiga aku mulai menerima keadaan, terlebih suami selalu menekankan kalau entah kapan situasi akan membaik seperti sedia kala. Ketika weekdays, aku akan sibuk dengan pekerjaan yang semakin tidak mengenal jam kerja selama WFH. Ketika weekend, aku merapikan rumah dengan benda-benda baru yang sudah dibeli online sebelumnya. Kesibukan akan mengalihkan energi dan fokus dari kesedihan, dengan bonus rumah semakin nyaman untuk ditinggali.
Memasuki bulan ke-4 pandemi Covid, mulai ada friksi yang tidak selesai. Kebayang ga sih berselisih tapi online gitu kan ga enak ya š .Ā Aku tau kami perlu pihak ketiga yang netral dan dapat membantu kami mengidentifikasi sebenarnya apa permasalahan kami, agar tidak ada yang mengganjal di hati. Bersyukur aku sering mendengarkan podcast “Curhat Babu” dan “Parentalk” di Spotify, yang memperkenalkanku dengan marriage counselor.
Tantangan selanjutnya adalah mengajak suami untuk konsul. Sempet kepikiran juga gimana kalau ada penolakan. Tapi ternyata suami, yang memang suka eksplorasi hal baru, dengan terbuka menerima ideku untuk bertemu dengan bu Rani Anggraeni Dewi, certified couple relationship therapist. Mungkin di Indonesia, belum menjadi hal umum untuk konsul dengan marriage counselor. Stigmanya kalau pernikahan sudah sulit diselamatkan, baru deh ke marriage counselor. Namun bagi kami yang belum genap dua tahun menikah ini merasa sangat bersyukur, menikmati dan belajar banyak hal di setiap pertemuan dengan Bu Rani yang menekankan tentang conscious marriage. Sampai blog ini diposting, kami sudah melakukan tiga pertemuan.
Di pertemuan pertama, kami disuruh bercerita dari point of view masing-masing mengenai uneg-uneg yang kami rasakan. Oh ya kami bertiga menggunakan Skype. Bu Rani akan bergantian menanyai kami, jika yang satu sedang menjawab maka yang lainnya harus mendengarkan. Di akhir pertemuan kami diberi PR untuk melakukan dialog imago mengenai hal yang kami sukai yang dilakukan oleh pasangan (halĀ yang disukai, alasannya, dan akibatnya). Buat pasangan yang love language-nya berbeda, dialog imago ini membantu sekali untuk mengetahui selama ini hal-hal kecil apa saja yang sudah dilakukan dan ternyata berdampak besar di hati pasangan.
Aku yang love language nya adalah physical touch merasa dicintai dan diakui ketika di mall digandeng suami. Sementara suami yg love language nya adalah act of service merasa dicintai ketika aku masak di rumah. Perbedaan love language ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri kalau pasangan ga saling memahami dan berusaha memenuhi kebutuhan “merasa dicintai” satu sama lain.
Di pertemuan kedua, Bu Rani menggali kenangan masa kecil kami untuk mencari tahu luka batin atau kebutuhan kami yang tidak didapatkan dari pola pengasuhan orang tua. Hal-hal yang diinginkan namun tidak didapatkan dari orang tua, secara tidak sadar akan dicari dari pasangan. Kalau pasangan juga tidak memenuhi kebutuhan tersebut, maka kita akan terus mencari dari sumber lain. Ini sih yang bahaya.
Sementara di pertemuan ketiga, kami jalani dengan fun dan banyak ketawanya karena masuk ke sesi penilaian ke diri sendiri dan pasangan. Di sesi ini kami disuruh memberikan penilaian dengan skala 1 – 10 untuk 10 aspek value dalam hubungan kami sebagai pasangan, yakni kejujuran, cinta kasih, penghargaan, toleransi, rendah hati, kedamaian, kebebasan, tanggung jawab, kesetaraan, dan kerja sama. Jika ada nilai yang di bawah 5, di situlah kami harus memperbaiki diri.
Sejak dibantu oleh Bu Rani, aku merasakan hubungan dengan suami semakin hangat dan membaik. Pengetahuan kami bertambah karena di setiap sesi kami belajar hal baru mengenai relationship. Aku juga makin mantap untuk memutuskan apa yang akan menjadi prioritas hidupku tahun depan.
Buat kalian yang saat ini sedang menghadapi friksi dengan pasangan, mungkin menemui pihak ketiga yang profesional dapat menjadi opsi. Terlebih di saat pandemi seperti ini, bagi sebagian orang akan melewati hari lebih berat sebagai pasangan daripada sebelumnya. Semoga kalian tetap bertahan, menjalani hubungan yang berkualitas serta bahagia dengan pasangan masing-masing. Be a power couple!
Semoga selalu berbahagia walaupun LDM.
Awet2 selalu yaaa kalian. Kalau sudah aman, kunjungi kami di sini yaaa. Atau sekalian ambil KPR sebelah rumah.
Amiiiin termasuk KPR nya. Masih ingatkah aku jauh2 ke Belanda cm mau curhat galau doang? š
Hai kakakā¦
Aku udah 7 tahun LDMā¦hahahaha (Ketawa periihh)
Permasalahan LDM akan bertambah ketika sudah ada anak2 yang aktif, tidak ada asisten (PRT atau Baby Sitter), masih harus bekerja, dll.
Ketika curhat ke pihak ketiga yg ātidak profesionalā pasti hanya akan mendapat saran āresign aja, ikut suami mu. Nanti rejeki ngikutinā. Mohon maaf, sejauh ini saya masih pake logika 100+100 = 200 bukan 100+0 = 200 hahaahaaā¦
Buat aku yang masalah LDM nya udah multilayer, terkadang saran2 dari profesional yang berdasarkan teori juga ga mempanā¦cuma satu orang yg bisa ngasih solusi yaitu si bocah 2 tahun yang lagi aktif2 nya iniā¦Aku hidup buat masa depan diaā¦So, Life must go on
Seberapa berat pun, namanya emak2 harus kuatā¦Ganbatte kudasai
Mohon info, kaalau mau konseling dg ibubrani bgmn caranya, ngehubungin kemana, dll, mksh sblmny
Bisa lgsg WA ke Mbak Nisa di no +62 813-1979-3978