Disclaimer: tulisan ini adalah refleksi pengalaman pribadi penulis yang bersifat subjektif. Tidak untuk menjadi bahan pembanding karena pengalaman setiap orang adalah unik.
Perubahan status dari lajang menjadi istri, dari memiliki active income (dengan bekerja kantoran) menjadi penghasil passive income saja, ternyata membuat saya perlu banyak belajar dan mengubah mindset untuk menilai posisi diri di dalam pernikahan.
Saya memasuki dunia pernikahan tanpa mengikuti premarital counseling, karena saat itu masih belum terekspose dengan hal tersebut. Akibatnya, ketika terjun di dalam pernikahan berasa clueless memposisikan diri, menerima dan menghargai perbedaan value, serta harus berbuat apa untuk mengoptimalkan kondisi diri masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Ketika awal nikah pun terasa kagok untuk menerima uang nafkah dari suami karena ada ego “perempuan mandiri” saya yang gengsi π , padahal mah itu kan memang kewajiban suami, hak istri, dan not to mention enak ada yang ngasih duit π .
Saat itu jiwa kompetitif saya membuncah. Suami terasa sebagai kompetitor, bukan sebagai partner yang perlu diajak saling bergandengan. Kalau suami di kantornya banyak mengalami kemajuan skill dan knowledge, saya tidak ingin ketinggalan, padahal sudah jelas titik awal kami aja berbeda apalagi skill set dan income-nya π . Saya sungguh tidak rasional karena takut merasa inferior dan menjadi pihak yang tidak berkontribusi dalam pernikahan.
Kemudian sampailah di hari ketika saya resmi tidak bekerja kantoran, sehingga punya banyak waktu untuk belajar tentang relationship, memposisikan diri sebagai istri, sampai mindset. Saya berujung dengan menyadari kalau di tahun-tahun kemarin kepala saya sibuk sendiri untuk ngasih makan ego yang sebenarnya tidak diperlukan. Tapi ya namanya hidup, semua berproses . Kalau ga berproses namanya afiliator *loh*.
Sebagai pihak yang (sedang) tidak menghasilkan active income di dalam rumah tangga bukan berarti saya tidak berkontribusi aktif di dalam pernikahan. Saya belajar bahwa pernikahan diisi oleh dua orang yang berbeda (latar belakang, skill, value, potensi, minat, pandangan, dan masih banyak aspek lainnya) yang berkomitmen untuk hidup bersama, bekerja sama, saling mendukung dan mengisi untuk mencapai tujuan bersama, dengan hati dan pikiran yang tenang dan bahagia sebisa-bisanya.
Di luar kondisi saya yang sedang tidak bekerja, saya mengurus rumah, manage keuangan kami (mulai dari budgeting hingga alokasi investasi), handle hal yang tidak menjadi fokus suami, terus belajar hal baru dan eksplorasi untuk menemukan yang benar-benar menjadi tujuan hidup dan minat saya. Saya juga melatih diri agar memiliki growth mindset, serta berupaya untuk terus hidup berkesadaran agar kami selamat di dunia dan akhirat.
Semua effort yang saya lakukan adalah bentuk kontribusi aktif saya dalam pernikahan kami. Tidak memunculkan konflik yang sebenarnya tidak diperlukan di dalam rumah tangga menjadi upaya kami untuk menciptakan suasana nyaman di dalam pernikahan (batin) dan di rumah (lahir). Kami menyebutnya sebagai intangible asset, karena ketika hati dan pikiran tenang kami bisa mengisi waktu untuk fokus di hal yang produktif, tumbuh bersama, dan memberi manfaat kepada orang di sekitar kami.
Perasaan tidak berdaya dan tidak berharga berasal dari diri sendiri. Demikian juga dengan perasaan berdaya dan berharga. Setiap individu yang terlibat di dalam sebuah pernikahan adalah individu yang berkontribusi aktif. Entah aktif dalam menciptakan jalan tol untuk mencapai tujuan dan kebahagiaan bersama, atau dalam menghancurkan jembatan sehingga perjalanan terhambat bahkan bisa saja tidak dapat dilanjutkan. Yang pasti, it always takes two to tango.
Singapura, 29 April 2022.