Tahun 2022 saya diawali dengan keputusan yang monumental: resign. Bagaimana pun sudah dipikirkan dan dipersiapkan beberapa tahun, saya tetap merasa “ambyar” ketika harus meninggalkan pekerjaan yang sudah saya mulai sejak Desember 2010. Tulisan ini saya buat sebagai pengingat di masa depan kenapa saya mengambil jalan ini, dan tentu saja sebagai kenang-kenangan bahwa saya pernah mengambil keputusan sulit dalam hidup.
Kerja di kantor ini adalah salah satu doa “mbatin” saya yang dikabulkan Allah. Doa yang saya ucapkan dalam hati ketika jalan di depan stasiun dan melewati gedung kantor ini, “Pengen ngrasain ngantor di sini ya Allah”. Dan dikabulkan begitu saja.
Satu dekade berlalu. Sampai juga pada hari di mana saya harus meninggalkan kantor tempat saya mencari nafkah sehingga bisa mewujudkan checklist impian sebelum menikah, dan tentunya diberi kemampuan membantu orang tua sebagai generasi sandwich serta berusaha memutus rantainya. Walaupun hati ini tau kalau ingin resign, tapi tetap saja ketakutan akan uncertainty pasca resign tidak dapat dielakkan. Setelah adegan berurai air mata beberapa episode, akhirnya di bulan Oktober 2021 saya membulatkan niat ini.
Kenapa kok resign?
- LDM isn’t for Me
Sebelum Covid, Jakarta – Singapura terasa dekat, LDM masih bearable karena kalau weekend masih bisa bertemu. Saat itu secara finansial juga masih belum memungkinkan untuk kami berdua tinggal di Singapura, mengingat biaya sewa hunian yang cukup mahal [menurut standard kami]. Sebagai gambaran, condo (apartment yang dikelola non pemerintah) 1 BR tarif sewanya rata-rata di atas S$2000 per bulannya *menangis*.
Setelah satu tahun tinggal serumah dengan suami dan bertemu setiap hari, saya merasa ada banyak hal baik yang saya dapatkan. Sharing knowledge, belajar being present dan rileks, membahas dan planning budget rumah tangga, rencana investasi, sampai ngomongin rasa teh tarik pandan di warung deket rumah yang suka inkonsisten. Hal-hal seperti ini yang tidak saya dapatkan selama kami LDM.
- Kenapa Bukan Suami yang Resign?
Ini bukan masalah patriarki, tapi selama ini memang gaji suami yang menghidupi rumah tangga kami, sementara gaji saya hanya untuk saya sendiri (jajan, nabung, ngirim orang tua dll). Selain itu suami juga menikmati pekerjaannya. Environment di Singapura sangat mendukung start up medical tech, sehingga dalam beberapa tahun terlihat perkembangan kondisi kantornya yang sangat signifikan.
Saya, di sisi lain, ingin punya kesempatan untuk belajar hal baru dan eksplorasi, termasuk berupaya mewujudkan satu cita-cita lama yang sempat hampir dilupakan. Resign memang menakutkan, namun bagi saya lebih mengerikan jika saya sudah pensiun dan menyesal karena tidak mengambil resiko (calculated risk) untuk mencoba mewujudkan hal yang saya cita-citakan itu.
- Bikin Happy
Berbulan-bulan galau, berkali-kali nanya ke suami “Enaknya gimana ya?”. Suami konsisten selalu menjawab “Pilih hal yang bikin kamu senang”. Walau hati ambyar, walau deg-dengan banget akan memasuki masa menjadi pengangguran beberapa waktu, tapi di dalam hati saya tau kalau ini yang saya mau.
- Ingin Mendapatkan Pengalaman Tinggal di Luar Negeri
Dulu pernah ada keinginan untuk sekolah master di luar negeri biar bisa merasakan kehidupan yang lebih beragam, tidak menjadi bagian dari mayoritas, namun saya urungkan karena ada orang tua yang perlu di-support. Sepertinya inilah saat yang tepat untuk merasakan hal tersebut bersama dengan suami, karena sudah ada keleluasaan dari sisi finansial.
Walaupun tempat tinggal di Jakarta lebih luas dibanding apartment kecil yang kami sewa sekarang, tapi pengalaman [yang mungkin] once in a lifetime seperti ini layak dicoba. Bertemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan semua yang totally new adalah hal yang menarik.
Sebelum mengambil keputusan ini, saya belajar dari teman-teman yang sudah resign jauh sebelum saya seperti Deny, Mbak Noni, Christa, dan Ozka. Selain itu juga belajar dari youtube, podcast dan beberapa akun instagram yang menceritakan kisah resign mereka. Tujuan belajar ini biar ga kaget dan dapat gambaran kehidupan pasca resign yang akan saya hadapi. Dan ini sangat membantu untuk set ekspektasi.
Finally, semoga keputusan sulit ini akan membuka pintu-pintu lain sehingga saya bisa tetap berkarya dan merasa semakin fulfill dalam menjalankan pekerjaan/kegiatan yang selaras dengan tujuan hidup. Here I am, embrace my new journey with my small family 🙂 .
I can’t have it all, but I can choose what matter most.
Congrats ya kak!
Aku yakin bakal ada pintu ajaib yang terbuka dan cerita cerita menarik lainnya.
Happy banget bacanya vibesnya deg degan tapi bahagia.
Makasi banyak ya, Fika. Amiiin amiiiin, doa baiknya kayak ngasi tambahan semangat dalam membuka lembaran baru. Smoga ada cerita2 baru yg juga bermanfaat buat yg baca 🙂
Setiap keputusan ada konsekuensinya. Tapi yang terpenting,tempat terbaik seorang istri ada disamping suaminya. Alhamdulillah,udah ga LDM.
Iya Mbak, alhamdulillah alhamdulillah udah ga perlu LDM, sungguh tantangan di masa Covid spt ini :”)
Semangat Fit. Insya Allah ada pintu dan jendela lain terbuka di sana ❤️💪🏻
Siap menyambut kejutan2 dan keajaiban kehidupan 😀
huhuhu sedih akuuu kehilangan temen main di kantor, sukses selalu di sana yaaaa
Amiiin Yuu, same here. Tapi teteplah kalo border2 dunia sudah buka, pertemanan mahal ini bisa dilanjutkan pada waktu dan tempat yg ditentukan kemudian hahahaha