Makan-Makan di Hanamasa

Ahaaaaa, kegiatan makan bareng merupakan sesuatu hal yang sering ditunggu-tunggu oleh hampir semua orang di sini. Sebagai acara syukuran atas pengangkatanku dan teman-teman sebatch sebagai karyawan tetap, maka para senior dengan sukses morotin kami buat nraktir mereka makan-makan.

Yaah, aku dkk tak mau merugi hehehe. Dengan berbekal info kebiadapan mereka kalo lagi makan, apalagi kalo itu GRATIS, maka diputuskan untuk menggelar acaranya di resto all you can eat HANAMASA biar yang bayar ga sampe gulung tiker hehehe. Lagian ini tempat yang termasuk “agak” dekat dari kantor. Yah setidaknya setengah jam perjalanan lah kalo ga macet hihihi.

So much fun pokoknya. Ini sebagian foto-foto waktu di sana :).

daging hewan kok, kami bukan kanibal
Daging hewan kok ^^
wanita pemakan segala
wanita pemakan segala
perhatikan bibirnya, mirip ikan mas koki ato tukul?
perhatikan bibirnya, mirip ikan mas koki ato tukul?
Para pecinta makan, tapi lebih cinta kamera ^^
Para pecinta makan, tapi lebih cinta kamera ^^
we're happy family ^^
we're happy family ^^

Sang Wajah Teduh

Sang wajah teduh.

Aku menemuinya di lantai atas Blok M Plaza, di tempat yang kurang layak untuk dijadikan tempat beribadah pada sebuah pusat perbelanjaan. Ya, aku menemui pemilik wajah teduh di tengah hiruk-pikuk ibukota.

Bukan di tempat mahal, dan bahkan mungkin terlupakan oleh orang yang sibuk berbelanja dan bekerja. Musholla.

Sang wajah teduh.

Bukan pengunjung yang sedang menunaikan kewajibannya di tempat itu. Beliau adalah penjaga lusinan pasang sandal kayu yang tak baru. Yang layu karena disiram air oleh ribuan kaki yang singgah.

Ku titipkan sepasang sandalku padanya. Beliau tersenyum santun dan ramah.

Ku berikan secarik kertas bertuliskan angka “55” dengan selembar uang seribu. Beliau memberikan sandalku dengan hati-hati, sandal bututku yang dijaganya penuh amanah. Sambil tetap menebarkan senyum ikhlasnya, seikhlas angin yang menyejukkan Jakarta siang itu.

Berat hati beranjak. Tapi aku harus pulang. Banyak yang ingin ku tanyakan padanya. Mendengarnya bercerita tentang kisah-kisahnya, tak akan aku bosan bertanya.

Aku pergi. Dari balik kacamata, ku berusaha memandang wajahnya lagi. Wajah yang, ahhh aku gagal menggambarkannya. Yang luar biasa. Sungguh.

Beliau menata uang ribuan tadi, dengan penuh syukur dan senyum yang tak lekang oleh materi.

Aku iri.