Sang wajah teduh.
Aku menemuinya di lantai atas Blok M Plaza, di tempat yang kurang layak untuk dijadikan tempat beribadah pada sebuah pusat perbelanjaan. Ya, aku menemui pemilik wajah teduh di tengah hiruk-pikuk ibukota.
Bukan di tempat mahal, dan bahkan mungkin terlupakan oleh orang yang sibuk berbelanja dan bekerja. Musholla.
Sang wajah teduh.
Bukan pengunjung yang sedang menunaikan kewajibannya di tempat itu. Beliau adalah penjaga lusinan pasang sandal kayu yang tak baru. Yang layu karena disiram air oleh ribuan kaki yang singgah.
Ku titipkan sepasang sandalku padanya. Beliau tersenyum santun dan ramah.
Ku berikan secarik kertas bertuliskan angka “55” dengan selembar uang seribu. Beliau memberikan sandalku dengan hati-hati, sandal bututku yang dijaganya penuh amanah. Sambil tetap menebarkan senyum ikhlasnya, seikhlas angin yang menyejukkan Jakarta siang itu.
Berat hati beranjak. Tapi aku harus pulang. Banyak yang ingin ku tanyakan padanya. Mendengarnya bercerita tentang kisah-kisahnya, tak akan aku bosan bertanya.
Aku pergi. Dari balik kacamata, ku berusaha memandang wajahnya lagi. Wajah yang, ahhh aku gagal menggambarkannya. Yang luar biasa. Sungguh.
Beliau menata uang ribuan tadi, dengan penuh syukur dan senyum yang tak lekang oleh materi.
Aku iri.