Tak Ingin Jadi Robot

Sebelum terjun bebas ke pekerjaan yang aku jalani sekarang, aku ditraining dulu oleh orang-orang yang tergabung di MI (Management Innovation). Ada 1 hal yang disampaikan oleh salah satu orang MI saat mengisi materi training di sebuah penghujung sore yang aku ingat terus sampai sekarang:

“janganlah kalian menjadi budak manufaktur. Tetaplah menjadi manusia..”

Yap, kurang lebih seperti itu.

Awalnya aku merasa itu bukanlah hal penting untuk diingat, apalagi diresapi maknanya. Belakangan aku tau bahwa itu bukanlah sekedar pesan biasa, namun pesan yang akan bisa membuatku tetap menjadi manusia, selayaknya.

Mungkin sudah jadi sebuah kelumrahan bagi sebagian besar penduduk metropolitan untuk mengabdikan dirinya pada pekerjaan dan mencapai materi sebanyak-banyaknya, dengan bekerja mulai pagi hingga malam, saat matahari belum terbit hingga matahari terbenam. Aku pun ikut larut dalam fenomena ini. Mulai dari Senin hingga Sabtu melakukan hal yang serupa: bangun pagi, ke kantor (pabrik lebih tepatnya), setelah malam tiba baru pulang dan beristirahat.

Dengan segala rutinitas itu, membuatku jarang melihat dunia luar. Tiap hari aku hanya menenggelamkan diri di balik layar monitor, televisi dan beberapa set DVD player untuk menyelesaikan pekerjaan.  Dan hari minggu aku habiskan dengan tiduran di kamar untuk membayar semua kelelahan atau pergi ke mall untuk berbelanja.

Namun, minggu pagi ini berbeda. Aku pergi untuk membeli sarapan dan harus berjalan di perkampungan penduduk di sekitar tempat kosku. Walau baru jam 8 pagi, panas matahari terasa menyiksa kulit. Aku melewati pasar yang berbau “khas”, melewati jalan kecil berbatu yang aspalnya pun terlihat rapuh, melihat para pekerja keras dengan raut muka letih dan penuh pengharapan untuk mendapat rezeki hari ini.

Aku membeli lontong sayur. Lontong sayur biasa, dipenjual biasa, dengan gerobak biasa. Namun entah mengapa saat menulis ini membuatku jadi merasa tak biasa. 3000 rupiah, semangkok lontong sayur. 3000 rupiah yang dicari dengan susah payah, mendorong gerobak dari ujung jalan hingga menemui ujung yang lainnya.

Jika dibandingkan dengan kelelahanku saat duduk bekerja, rasanya aku hanya seorang amatiran dalam memaknai apa arti “perjuangan hidup dan kerja keras”. Apalagi jika mengingat keluhan-keluhan yang sempat aku keluarkan karena masalah yang ada di kantor atau sekedar lelah dan mengantuk, padahal aku dibayar dengan pantas dan pasti tiap bulannya, aku merasa malu.

Betapa aku kurang rasa syukur padaNya, apalagi menyadari bahwa apa yang aku punya dan dititipkanNya padaku belum sempat dinikmati juga oleh mereka yang sarat akan derita di sebuah tempat lain.Apalagi setelah aku membaca blog ini dan ini.

Yah, aku ingin menjadi manusia, bukan robot, bukan budak manufaktur. Aku ingin melihat dunia, dunia yang sebenarnya. Aku ingin membuat satu, dua orang bisa tersenyum dan bahagia akan kehadiranku. Aku ingin.. Hanya keinginan sederhana.

I hope..

Iklan

2 pemikiran pada “Tak Ingin Jadi Robot

  1. Great post 🙂
    Semoga menjadi manusia dambaan ummat…..
    Manusia yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk ummat….
    Serta memberikan yang terbaik untuk dua orang (Ayah dan Ibu)…..
    Dan yang terpenting menjadi manusia yang mulia disisiNya dan RasulNya….

    Salam kenal……
    Silaturahim yah…..
    Kalo boleh tukeran link……

    trytolearneveryday….

  2. waooow, saya sangat terkejut melihat udah ada komentar di hari pertama membuat dan mengisi blog baru. Makasi banyak ya Mas ^^

    Salam kenal juga. Amiiin atas doa-doanya. Saya akan senang sekali kalau kita bisa tukeran link..

Habis maen komen dong :D

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s