Belakangan sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya tuliskan di blog ini. Selain untuk pengingat diri, mengurangi apa yang ada di kepala, juga sekaligus untuk berbagi. Oke, mari dimulai dari branding.
Setelah membaca buku 99 Cahaya di Langit Eropa, saya baru benar-benar memikirkan soal branding. Di sana diceritakan mengenai Fatma, seorang wanita Turki yang hijrah ke Eropa (saya membaca 15 bab dari buku ini di Gramedia GI bersama teman saya, and I think we had a quality weekend there. Dan akhirnya saya juga membeli buku ini). Di Eropa, dengan hijabnya, Fatma kesulitan mendapatkan pekerjaan. Akhirnya dia mengisi waktunya dengan belajar bahasa Jerman, yang merupakan bahasa lokal di Austria.
Diceritakan bahwa ketika Fatma dan Mbak Hanum (sang pengarang buku) sedang makan di salah satu tempat makan, ada tiga pengunjung lain yang membicarakan tentang roti croissant.
“If you want to ridicule Muslims, this is how to do it! Kalau kalian mau mengolok-ngolok muslim, begini caranya!”
Aku mengintip turis itu memakan croissant dengan gaya rakus yang dibuat-buat dari balik tembok. Tak berhenti di sana, turis laki-laki itu meneruskan kalimatnya. Kali ini ia lebih berani berbicara keras. “Croissant itu bukan dari Prancis, guys, tapi dari Austria. Roti untuk merayakan kekalahan Turki di Wina. Kalau bendera Turki itu berbentuk hati, pasti roti croissant sekarang berbentuk ‘love’ bukan bulan sabit, dan tentu namanya bukan croissant, tapi l’amour”. 99 Cahaya di Langit Eropa
Fatma, sebagai orang Turki, akan sangat wajar jika merasa tersinggung dan mungkin marah dengan apa yang diucapkan oleh para turis tadi. Namun sebaliknya, dia malah membayari semua makanan mereka dan menuliskan pesan di selembar kertas
Hi, I am Fatma, a muslim from Turkey.
Amazing! Saya kutipkan paragraf lainnya dari buku tersebut.
…. Sebagaimana Ezra yang tadinya apatis pada agama, dia jatuh cinta kepada Islam karena pesona umat pemeluknya. Seperti Latife yang selalu mengumbar senyumnya. Seperti Fatma yang membalas perlakuan para turis bule di Kahlenberg dengan traktiran dan memberikan alamat untuk membuka perkenalan. Seperti Natalie yang percaya restoran ikhlasnya bisa merekahkan kebahagiaan para pelanggan. Saat itu aku yakin, orang-orang ini memahami dan mengerjakan tuntunan Islam dengan kafah. Mereka paham bahwa dengan mengucap syahadah, melekat kewajiban sebagai manusia yang harus terus memancarkan cahaya Islam sepanjang jaman dengan keteduhan dan kasih sayang.
Ini adalah salah satu contoh dari branding. Sadar maupun tidak, saya dan anda adalah agen branding. Mulai dari personal, keluarga, komunitas, agama, negara, perusahaan, dan lainnya. Contohnya adalah ketika saya kemarin melakukan training. Kelasnya memang dibuat kecil, agar training lebih fokus. Kelas yang saya ikutin kemarin berisikan lima orang peserta dari empat perusahaan dan bidang usaha yang berbeda. Mulai dari oil and gas, batubara, semen, hingga perbankan.
Saya berdiskusi dan ngobrol dengan para peserta training lain, yang pada akhirnya sikap, pemikiran mereka, turut serta mempengaruhi image perusahaan tempat mereka bekerja di mata saya (setidaknya). Peserta dari perbankan ini adalah seorang wanita dengan dua orang anak. I can say she’s smart, independent, warm person, a nice mom and nice friend. Walaupun tidak bisa digeneralisasi, saya jadi berfikir “oh, pekerja di bank *** good enough. Jadi bank ini memang memiliki (sample) resource yang baik.”
Menyadari hal ini, sepertinya saya memang harus banyak belajar, meng-upgrade isi kepala, memperbaiki sikap dan pemahaman saya tentang banyak hal. Karena saya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar lingkupnya.
Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada yang kurang berkenan ya :). Have a nice weekend.