Aku lupa memperhatikan sekitar. Bukan, aku bukan penderita amnesia. Namun terlalu banyak hal yang perlu aku ingat dan diprioritaskan apalagi ketika aku memutuskan untuk kembali ke bangku kuliah, mewujudkan impian lama.
Kerja dan kuliah setelahnya, bukanlah hal mudah. Tapi aku sudah memutuskan. Hanya dengan sebuah alasan, aku tidak ingin suatu hari ketika aku terbangun menemui diriku menyesal. Wajar kan jika kemudian aku tidak begitu memperhatikan sekitar, terutama jika tidak berkaitan dengan pekerjaan ataupun tugas kuliah yang seakan tidak rela membiarkan aku memiliki sedikit waktu luang?
Hingga di sebuah sore ketika aku membereskan laptop dan benda-benda lain yang tergeletak di atas meja kerja, seraya memandang ke luar jendela yang memamerkan pesona dengan sinar matahari Jakarta berwarna jingga cerah, seorang teman memberitahukan tentang eksistensi idola barunya di kantor.
‘Al, akhirnya ada juga yang bisa dijadikan obat mata lelah di kantor!’, ucap Tia, yang baru saja selesai rapat ketika lewat di belakang kursiku.
‘Kamu nggak salah liat kan? Ingat Aldi..’. Aku tertawa mendengarnya.
‘Inget sih sama Aldi. Cuma mas ini pinter banget. Bahasa inggrisnya keren waktu kemarin dia presentasi’, Tia berkilah.
Beberapa kali memang kepintaran seorang pria mampu menghipnotisku. Rasanya aku rela berlama-lama dan mengisi ulang gelas vanilla latte yang telah kosong untuk berbincang dengan mereka.
Aku memandang sekitar, sambil mengunci laci dan menyiapkan tas untuk bergegas pulang.
‘Mana sih Ti? Emang ada yang kayak gitu di kantor?’
‘Lah, yang tiap hari duduk di belakangku. Ga heran kalau kamu sampai sekarang juga masih lajang, ada barang bagus aja juga masih kalah dengan paper-papermu itu..’, Tia mengoceh dan meletakkan laptop di atas mejanya, persis berhadapan dengan mejaku. Di belakang Tia memang beberapa bulan ini ada meja tambahan, yang diisi oleh konsultan yang sedang mengerjakan proyek di kantor tempatku bekerja. Namun rasanya tidak ada seperti yang diucapkan oleh Tia.
‘Tapi sayang dia memakai cincin, di jari manis kirinya..’ lanjut Tia.
Cerita tentang pria yang tak bernama tidak pernah lagi terlintas dalam pikiranku, karena pekerjaan di kantor dan ujian akhir semester seperti atlet yang sedang di arena maraton, saling berkejaran meminta perhatian. Lagi pula, harapan sirna bersama keberadaan cincinnya.
‘Itu loh Al..’
Tia berbisik dan memberikan kode kepadaku yang sedang mengambil air putih dari dispenser di sebelah kanannya, sementara matanya melirik kepada pria yang tak bernama yang duduk di belakang kirinya. Aku manggut-manggut, menandakan aku sudah paham apa yang dimaksudkannya.
Meskipun duduk berdekatan, tak pernah ada sapaan karena memang kami tidak ada kepentingan. Setelah Tia menyadarkanku atas keberadaan pria yang tak bernama, ketika aku lelah memandang laptop, maka pandanganku mengarah kepadanya untuk menilai selera Tia.
Aku mengurangi intensitas kebiasaan baruku itu, karena beberapa kali aku menemukan mata kami saling beradu. Aku tidak ingin ketahuan. Ada rasa yang tak biasa, memang. Dan aku tidak menyukai hal itu. Deg-degan, seperti mencoba kopi selain vanilla latte pertama kali. Aku juga tidak ingin flirting dengan pasangan orang.
***
Siang itu aku membuka laptop di sebuah café, memandang hujan dari balik jendela.
‘Mbak, ini vanilla latte-nya..’, tiba-tiba seorang pelayan menaruh segelas vanilla latte, kopi kesukaanku, di atas meja.
‘Mas, maaf, mas keliru sepertinya. Saya baru datang kok, belum order juga..’, aku menjelaskan padanya.
‘Mbak, Mbak Alia kan?’
‘Iya, saya..’
‘Berarti saya tidak salah. Ini dari Mas itu..’ si pelayan menunjuk ke arah kasir. Ada sosok yang sepertinya aku kenal jika melihatnya dari samping.
Detak jantungku berlarian. Pria yang tak bernama ada di café ini! Aku canggung.
‘Boleh duduk di sini? Terima kasih sudah menunggu..’, dia menarik kursi dan mengumbar senyumnya, oke harus aku akui, yang memikat.
Aku hanya diam, mencerna apa yang sedang terjadi.
‘Kok diam saja?’ dia melanjutkan.
‘Hmm…’, aku mencoba menenangkan diri dengan meminum latte ku, tanpa didahului dengan ucapan terima kasih atas traktirannya.
‘Enak kopinya?’
‘Oh ya, terima kasih’, aku masih menyembunyikan wajahku yang memerah di balik cangkir kopi.
Aku tersenyum.
‘Terima kasih sudah menungguku sampai hari ini. Aku kan yang kamu maksud dengan pria tak bernama yang duduk di belakang temanmu..?’
Pede banget! Tapi dia benar.
Aku terkesiap dan memikirkan siapa yang membocorkan rahasia kecil ini. Rasanya menjawab soal ujian lebih mudah daripada menjawab pertanyaannya. Tuhan, aku memilih UAS sekarang!
‘Aku Aksa. Aku membaca tweet-mu..’ dia tersenyum memandangku sambil meminum kopinya.
Aku terdiam. Menyesal, mungkin, telah melupakan esensi social media. Namun aku senang dia telah membawa Aksa datang.
Depok, January 13th 2013
Apa-apaan iniii???ini kisah nyata???waaaahhhh…sepertinya saya telah meninggalkan berita terbaru darimu, mbaaaaa…..kalo kamu berhasil menikahinya, saya yakin kutukan untuk 6 wanita lajang akan hilang….hahhaha
KAMUUUH jangan mengumbar isu :lol:. Hahaha…. aku aminin tapiiih :”)
Dari dunia maya ke dunia nyata. Semangat. :))
Amiiiin amiiiin *lho kok semangat amat, katanya fiksi* 😆 Makasiiih semangatnya, dan makasih udah baca :3
[…] diambilnya. Hatiku juga tak bisa menyembunyikan rasa gembira ketika membaca pesan whatsapp dari Aksa. Pria yang tak sempurna itu, membuat hidupku […]
Awww..awww.awww… fiksi yang menggoda untuk jadi kenyataan *wink wink