Udah lama ga ngeblog, sekali nongol malah curcol :p
Jadi ceritanya tadi malam saya blogwalking ke blognya Mbak Okke yang membahas tentang Teori Jodoh dan Label Perempuan Lajang. I couldn’t agree more with these posts. Ternyata masalah perempuan lajang ini menjamur yah, jadi saya ga perlu merasa khawatir sendirian *dadah-dadah ke perempuan lajang lainnya*.
Faktor lingkungan memang luar biasa berpengaruh dalam pola pikir seseorang, apalagi kalau orang itu tidak punya visi khusus terhadap hidupnya sendiri. Beberapa waktu lalu saya sempat “dicekokin” berbagai teori tentang pernikahan. Intinya sih jangan terlalu picky dalam memilih jodoh, ntar malah ga nikah-nikah. Hal ini belum seberapa kalau lajang lain di sekitar adalah mereka yang sedang ngebet nikah hihi.. Padahal beli lele yang sama hitam dan kumisan di pasar aja perlu milih, lah ini urusan dunia akhirat yang ga bisa di-trial and error masa ga milih sih? Non sense :p
Saya yang selama ini jauh lebih iri kepada mereka yang mendapatkan beasiswa sekolah di LN atau akhirnya mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan dan hidup bahagia bersama passionnya, dibanding mereka yang bikin resepsi, sempat terpengaruh juga akibat bombardir lingkungan. Tapi akhirnya kembali di “jalan yang benar” (setidaknya menurut saya) setelah bertukar pikiran dengan dua sahabat di kampus yang merupakan perempuan lajang pintar dan berwawasan yang sedang in relationship dan perempuan lajang pebisnis sukses. Perbedaan agama kami bertiga malah memperkaya pandangan dan begitu juga dengan background yang kami miliki. Pembicaraan kami berakhir pada kesimpulan seperti quote ini:
Kalau kata @yeahmahasiswa sih
Hidup kita yang jalanin, Tuhan yang nentuin, orang yang komentar. Gitulah standarnya
Ya apapun yang kita lakuin hampir pasti tetap saja mendapatkan komentar dari orang lain, kayak lingkaran setan gitu. Kalau sudah menikah, ntar ditanyain soal anak, trus anak kedua, trus prestasi anak, dan kemudian ini dan itu. Intinya sih tuntutan sosial ga akan ada habisnya. Kalau kita ga memegang kendali atas hidup kita sendiri, pasti akan menderita hihi..
Sekarang saya sedang menyelesaikan semester akhir (aamiin) program pascasarjana saya di UI, mengalami persis seperti yang dituliskan Mbak Okke
Kalau kamu perempuan lajang dengan banyak gelar akademis, maka akan muncul lebih banyak pemakluman ‘Oh pantes aja sih sampai umur segini masih melajang, laki-laki pada minder soalnya dengan cewek yang gelarnya banyak gitu’. Pemakluman sejenis akan muncul bagi perempuan lajang dengan karir oke dan jabatan tinggi.
Intinya sih sejenis “jangan ketinggian sekolah dan karirnya, ntar cowok pada minder”. Kalau saya sih percaya dengan teori “we get what we are”, lagian daripada ngabisin waktu buat hal-hal yang ga jelas manfaatnya kan mending sekolah aja *ditoyor*.
Sebenernya saya ingin menekankan faktor lingkungan di sini, perlunya kita memilih dan berada di lingkungan yang baik, serta berkontribusi menjadi katalis positif di dalamnya. And alhamdulillah I’ve found some circles, lingkungan yang mengispirasi dan membuat saya memiliki beberapa pilihan setelah lulus kuliah, salah satunya adalah kuliah lagi karena sepertinya memperlajari energy management adalah hal yang menarik haha. Tapi let see saja..
Oh ya yang paling mengganggu dalam masa-masa menemukan soul-mate ini adalah ada yang berkomentar saya tidak cukup berusaha. Hehe.. I’m one of a kind, and so are you, so don’t judge me, until you’ve walked in my shoes. Yang penting sih saat ini saya sedang bahagia hihi..
Pernah kepikiran ga sih kalo sebenernya masa lajang itu adalah waktu tambahan yang diberikan Tuhan untuk lebih mencintai diri sendiri dan keluarga? Jadi nikmati saja 😉
Kalo kisah kalian bagaimana?
Yaaaa semoga apa yang kamu jalanin sekarang bisa memberi hasil yang terbaik dalam hidupmu kelak, mba…good luck
Yaaaa semoga apa yang kamu jalanin sekarang bisa memberi hasil yang terbaik dalam hidupmu kelak, mba…good luck