Saya ingin bercerita tentang masa kecil dan masa-masa saya memperjuangkan keinginan untuk mendapatkan pendidikan. Maybe I am nothing, but I hope my writing can bring something..
Ketika dipikir ulang, sepertinya saya sudah terbiasa dengan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Ketika kecil, saya ikut bersama kedua orang tua saya untuk tinggal di manapun bapak ditugaskan. Bapak adalah seorang karyawan swasta yang menguasai alat-alat lapangan, gampangnya katakanlah bapak seorang teknisi atau operator.
Bapak hanya lulusan STM. Tapi yang saya salutkan dari beliau adalah semasa mudanya bapak sudah pernah merantau sampai ke jazirah Arab dan memiliki anak buah WNA yang juga merantau di sana. Foto-foto bapak semasa muda, berdiri di depan pesawat, mobil dengan plat negara-negara Arab, di dalam kapal atau sekedar hang out bersama teman-temannya masih tersimpan rapi di rumah. Hal ini sebagai bukti masa-masa “kejayaan”nya. Kalung emas yang bapak beli dulu sampai sekarang juga masih saya pakai. Ketika kami kesulitan uang, Ibu pun enggan untuk menjualnya, “sayang, untuk kenang-kenangan” katanya.
Setelah menikah, ibu tidak berkenan jika bapak merantau jauh ke luar negeri. Alasannya? Ibu seorang wanita, dan saya juga. Mungkin saya tidak perlu menanyakannya :). Meskipun janji akan limpahan materi ada di depan mata saat itu, tapi orang tua saya memilih pilihan lain, yakni tetap bekerja di Indonesia. Seingat saya, dan dari beberapa cerita yang pernah ibu sampaikan, sejak saya lahir kami sudah berpindah-pindah mulai dari Cilacap, Pangkal Pinang, Bangka, hingga ke Monterado.
Saya banyak menghabiskan waktu di Monterado, karena saat itu bapak bekerja di perusahaan pertambangan swasta. Kompleks perumahan perusahaan terletak di gunung dan benar-benar di kelilingi hutan. Listrik dan air dikelola secara mandiri oleh perusahaan. Saya baru tau kalau sebenarnya kedua hal tersebut tidaklah gratis ketika kelas 5 SD saat guru meminta para murid untuk membawa tagihan air dan listrik ke sekolah sebagai contoh kasus. Saat itu yang saya katakan kepada teman sebangku saya adalah “emang di rumah kamu bayar air dan listrik? kenapa aku enggak?”.
Bicara tentang sekolahan, sekolah saya di dominasi oleh anak keturunan cina/tionghua. Data statistik kelas akan membagi murid menjadi dua yakni pribumi dan non pribumi. Lima orang murid pribumi dalam sebuah kelas sudah menunjukkan jumlah yang “banyak” dari total tiga puluhan murid. Murid yang beragama Islam atau Kristen juga menjadi minoritas, karena mayoritasnya beragama Budha.
Ular yang “bertamu” mengunjungi perumahan tidak menjadi hal yang luar biasa, mulai dari ular sendok, kobra, dan entah apalagi. Keuntungan tinggal di kompleks ini adalah merasakan udara yang benar-benar segar. Ketika saya bermain ke hutan, yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah, saya bisa menemukan banyak kantong semar. Buah yang paling saya dan teman-teman buru ketika bermain adalah buah karimunting. Saya tidak akan heran kalau sangat jarang yang tau tentang buah ini. Ketika itu, mendapatkan buah karimunting yang lebih banyak dibandingkan teman lain adalah kepuasan tersendiri :D.
Karena saya tinggal di pelosok, maka perjalanan ke sekolah juga menghabiskan waktu. Ibu pernah bilang kalau saya ini anak mobil jemputan, karena waktu saya banyak dihabiskan di sana mulai dari melanjutkan tidur pagi, sampai dengan tidur siang. Saya biasanya akan dibangunkan jam 4 subuh. Bagi anak SD (seperti saya), bangun di pagi buta adalah hal yang berat. Sambil merem, saya berangkat ke kamar mandi untuk mandi menggunakan air hangat yang sudah disiapkan ibu. Setiap pagi, sarapan juga sudah tersedia di atas meja. Sejak dulu ibu selalu mengatakan kalau sarapan itu penting sekali. Jam 5 kurang, mobil jemputan biasanya sudah datang dan mengantarkan saya dan anak-anak karyawan lainnya ke sekolah masing-masing.
Seingat saya perjalanan dari rumah ke sekolah setidaknya adalah 1 jam, itupun jika tidak ada halangan. Di pagi buta, saya akan melewati rumah penduduk, hutan, kebun karet, kandang sapi, babi yang berjalan di pinggir atau sedang menyeberang, pasar yang mulai bergeliat dan masih banyak lagi. Saya akan sampai kembali di rumah paling cepat adalah jam 2 jika dijemput bapak menggunakan motor saat beliau libur kerja dan mengajak saya membeli hadiah karena menjadi juara kelas. Jika menggunakan mobil jemputan, biasanya sampai jam 3 karena menunggu yang SMA juga keluar dulu. Cape? Jangan ditanya.
Pernah juga sampai malam baru tiba di rumah karena jembatan rusak dan tidak bisa dilalui mobil. Mau jalanpun, rumah masih jauh. Pernah lagi sudah sekitar 3/5 perjalanan, kami terpaksa harus kembali pulang karena mobil tidak bisa melewati pohon yang tumbang setelah hujan angin. Saat itu, sopir kami akan berusaha menghubungi sekolah kami masing-masing dan menyampaikan keadaan tersebut. Saya juga ingat sekali, sekolahan pernah kebanjiran sampai selutut saya waktu itu, dan saya tetap masuk sekolah. Oh ya, teman saya juga ada yang meninggal karena hanyut di sungai saat banjir itu terjadi, kira-kira ketika saya kelas 2 SD.
Perjalanan masa kecil kalau diingat seru sekali. Pernah mendengar perang atau tragedi Sambas? Konon kabarnya perang tersebut adalah perang antar suku. Sepanjang perjalanan dari kota, ke perkampungan penduduk hingga mencapai kompleks perumahan perusahaan tempat bapak bekerja, banyak perkampungan suku yang kami lewati, mulai dari cina, melayu, madura, jawa, sampai dayak.
Ketika perselisihan berlangsung, saya ingat betul saat itu saya yang tidak biasanya merengek meminta ibu ikut ke sekolah di luar hari pembagian rapot. Ibu pun mengiyakan. Ketika saya di dalam kelas, ibu duduk menunggu di halaman sekolah sampai saya selesai belajar. Setelah bel pulang berbunyi, saya dan ibu pergi ke pasar yang tidak jauh dari sekolahan sembari menunggu mobil jemputan datang. Keadaan pasar yang tadinya tenang, langsung berubah seperti ada keributan. Para penjual segera mengemasi barang dagangan mereka, begitu pula dengan pembeli yang berlarian untuk mengambil kendaraan dan pulang.
Kami hendak menuju tempat menunggu mobil jemputan, ketika begitu banyak rombongan salah satu suku turun ke jalanan dengan membawa berbagai macam peralatan “perang” yang sudah diasah tajam. Saat itu saya kelas 5 SD. Saya dan ibu, yang hanya berjarak 2 meter dari rombongan tersebut, ketakutan. Rasanya kami saat itu sudah pasrah dengan takdir Tuhan. Ibu tak henti-hentinya mengucapkan istighfar dan takbir. Saya mengikuti beliau.
Keadaan yang tak kunjung membaik sempat membuat saya pergi ke sekolah dengan celana jeans, menggunakan kaos dan membawa sebuah buku tulis dan pulpen. Tanpa seragam, tanpa buku diktat. Ini terjadi dikarenakan kami sekeluarga tidak bisa pulang ke rumah dan terpaksa menginap di salah satu rumah rekan kerja bapak yang ada di kota.
Semasa kecil saya tidak akrab dengan yang namanya games. Bapak dan ibu tidak pernah mau membelikan saya video game. Keinginan untuk bermain Mario Bross bisa diwujudkan di rumah tetangga. Ibu juga tidak pernah membolehkan saya membaca komik, jadi tidak perlu heran saya baru bisa membaca komik ketika SMA. Lain halnya jika saya perlu membeli buku sekolah, biasanya berapapun yang saya perlukan akan dibelikan. Permainan saya sewaktu kecil hanya berkisar antara sepeda, kelereng, lompat tali, petak umpet, masak-masakan, biji saga (biji yang berwarna merah kecil dan keras) dan boneka (sepertinya).
Masa-masa itu, kebanyakan keinginan saya dapat dipenuhi oleh orang tua, meskipun saya perlu berjuang dulu dengan belajar agar bisa juara 1 di setiap caturwulan. Setiap setelah rapot dibagikan, saya akan memiliki barang baru sebagai hadiah. Tak lama menjelang kelulusan SD, saya mulai diperlihatkan “wajah kehidupan” yang sebenarnya. Kehidupan yang diperjuangkan dan penuh dengan rintangan ataupun kesulitan. Perusahaan tempat bapak bekerja selama ini ditutup.
[…] cerita sebelumnya. Sebenarnya, ada rasa enggan untuk menuliskan cerita demi cerita Karena Pendidikan Adalah Hal […]