Jakarta Weekend Gateway: Belajar Sejarah Menteng Bersama Good Guide

Ketika main ke negara lain, saya sangat iri dengan fasilitas pariwisata yang diberikan kepada para turis lokal maupun internasional yang berkunjung. Mulai dari maps tujuan wisata, transportasi umum, dan pilihan tour baik jalan kaki, hop on hop off hingga bersepeda, rasanya dibuat dengan niat.

Sebagai orang yang mencari nafkah di ibukota Indonesia, maka banyak waktu saya habiskan di Jakarta. Namun saya emang ngrasa kurang mengenal kota ini, meskipun ketika membuka pintu balkon yang terlihat adalah TMP Kalibata tapi saya ga tau banyak sejarah kota Jakarta. Sebenernya udah lama saya mencari guide yang bisa memberikan informasi seluk beluk Jakarta, dan baru menemukan Jakarta Good Guide pada bulan September lalu. Gini deh yang namanya jodoh, kadang udah nyari lama baru ketemu *duh baper*.

Hari Minggu 18 Oktober 2015, saya bersama beberapa teman ikut dalam tour yang diadakan oleh Jakarta Good Guide (yang akan saya singkat dengan JGG) dengan tujuan eksplorasi kami adalah seputar Menteng. Kami berkumpul di Taman Suropati jam 9 pagi. Konsep dari JGG adalah “pay as you wish”. Kalo kata Mbak Syahrini “sesuatu”. Udah dapet ilmu, refreshing, bayarnya suka-suka pula :D.

Jakarta Good Guide di Taman Suropati
Good Guide sedang menjelaskan tentang sejarah Taman Suropati

Karena jumlah peserta yang cukup banyak, maka tour dibagi menjadi empat kelompok. Mas Farid sebagai tour guide mulai menceritakan kisah tentang Taman Suropati. Taman ini mulai ditanami pepohonan pada tahun 1920 dan pada awalnya dinamai Burgemeester Bisschopplein yang diambil dari nama walikota (burgemeester) saat itu yakni G.J. Bisshop. Di taman ini terdapat enam karya seniman dari enam negara pendiri ASEAN yakni dari Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunai, Filipina, dan Singapura.

Dari Taman Suropati, kami beranjak ke depan gedung Bappenas. Di sana terlihat patung Diponegoro yang ternyata baru ada di situ pada tahun 2005, menggantikan patung Kartini. Oh ya, patung Diponegoro ini merusak mitos patung-patung tokoh berkuda lainnya yang “menyepakati” jika kedua kaki kuda yang ditunggani terangkat ke atas, menandakan bahwa tokoh tersebut meninggal dalam peperangan. Sementara kita tau bahwa Pangeran Diponegoro sendiri meninggal di pengasingan di Makassar. Anti mainstream emang! 😀

Patung Diponegoro
Patung Diponegoro yang anti mainstream

Mengikuti tour ini menyegarkan kembali ingatan saya akan pelajaran sejarah jaman sekolah. Dulu saya ga suka sejarah, karena susah nginget tanggal dan tahun-tahun penting :(.

Perang Diponegoro yang terjadi pada 1825 – 1830 menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi Belanda dan menewaskan sekitar lima belas ribu tentara Belanda. Karena besarnya kerugian tersebut, Belanda menerapkan tanam paksa di Indonesia untuk mengisi kekosongan kas mereka. Eh dengan adanya tanam paksa ini juga membuat Belanda membangun jalur transportasi yang menghubungkan pulau Jawa bukan sih? Karena kayanya banyak rel kereta api yang merupakan warisan si Meneer.

Tujuan tour selanjutnya adalah gedung Bappenas yang dibangun pada tahun 1800-an dan direnovasi pada 1925. Menurut cerita Farid, gedung ini merupakan gedung yang menyimpan banyak misteri. Tenang aja, gada kaitannya sama nenek gayung kok. Gedung ini pernah menjadi kantor organisasi Freemason, yang sebelumnya berkantor di wilayah Lapangan Banteng yang sekarang dipergunakan untuk Apotek Kimia Farma. Anggota organisasi ini dianggap mengetahui detail blueprint kota Batavia (misal letak terowongan bawah tanah dll). Konon kabarnya gedung ini memiliki basement tempat yang digunakan anggota Freemason melakukan “ritual”, namun hingga sekarang sepertinya belum ada yang bisa memastikan hal tersebut karena akses untuk masuk ke basement ditutup.

Setelah Gedung Bappenas, kami berjalan ke Gereja Paulus. Gereja ini dulunya diberi nama Nassaukerk (kerk: gereja). Baru sadar deh saya kalo di atas gereja ini ada ayam jagonya, dan ternyata nama beken dari Gereja Paulus ini adalah Gereja Ayam. Nah, ayam ini ada sejarahnya juga loh yang berhubungan dengan kisah Nabi Isa dan pengikutnya yang bernama Petrus. Kalau ga salah, Nabi Isa mengatakan bahwa suatu saat Petrus akan menyangkal bahwa Petrus adalah pengikutnya sebanyak tiga kali hingga ayam berkokok. And it happened! Secara kasat mata kita juga bisa melihat ciri khas bangunan Belanda di gereja ini yakni adanya kaca patri pada dinding gereja. Kacanya diimpor dari Delft langsung ternyata. Wow si Meneer niat banget dah!

Gereja Paulus Menteng
Gereja Paulus yang ada ayam jago di atasnya

Ketika dulu guru sejarah menceritakan bagaimana bapak pendiri bangsa berjuang mengupayakan kemerdekaan Indonesia, saya selalu wondering di mana sih mereka melakukan brainstorming untuk membuat draft naskah proklamasi. Sebenarnya saya udah lama tau keberadaan Museum Proklamasi, tapi emang belum pernah berkunjung ke museum ini.

Museum Proklamasi
Jari-jari kami lebih representatif dibanding wajahnya *disambit Gara dan Dita*

Bangunan Museum Proklamasi ini dulunya adalah rumah Laksamana Maeda. Di sini Bung Karno, Bung Hatta, dan Soebardjo merumuskan naskah proklamasi yang kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Nazi juga berperan dalam kemerdekaan Indonesia loh ternyata, karena mesin ketik yang dipakai oleh Sayuti Melik merupakan pinjaman dari angkatan laut Jerman. Kenapa kok ga pinjem punya Maeda? Karena hurufnya menggunakan huruf kanji :D. Anyway, dari Sandi saya baru tau kalau Bung Hatta ini berikrar baru akan menikah setelah Indonesia merdeka. Bersyukur banget Indonesia punya bapak bangsa yang pintar dan ga baper *terharu*.

Penggagas Naskah Proklamasi Indonesia
Mereka bukan lagi nggosip, tapi mikirin kemerdekaan Indonesia

Kami juga menyusuri jejak Obama di Menteng yakni di SD Menteng 1 dan karena peserta antusias untuk tau di mana rumah “Cendana” yang femes itu, Farid juga membawa kami ke depan rumah mantan penguasa Indonesia selama 32 tahun di Jalan Cendana. Kondisi rumah Pak Harto sekarang terlihat kurang terawat, padahal harga tanah di Menteng kan mahal banget yah *mental corporate slave yang punya cicilan*.

Obama in Menteng
Kalo saya sekolah di sini, mungkin bisa nyaleg..

Seru banget ternyata ikutan walking tour! Andai saja dulu pelajaran sejarah disampaikan dengan cara seperti ini, saya pasti akan lebih banyak mengingat dan memperhatikan *duh alasan aja*.

Eh masih pada inget dengan lagu Ade Irma Suryani? Siang itu bekas rumah pribadi (alm) Pak Nas, yang sejak 3 Desember 2008 diresmikan menjadi Museum Jendral Besar Abdul Haris Nasution, juga menjadi tujuan walking tour kami. Kami dipandu oleh petugas di sana yang memang mengetahui persis sejarah yang pernah terjadi di rumah itu, termasuk ketika Ade Irma ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa pada 1 Oktober 1965. Bekas peluru yang ditembakkan dan merusak meja beserta dinding kamar Pak Nas masih terlihat dengan jelas. Patung Pak Nas yang sedang memanjat dinding pembatas rumah dengan kedutaan Irak, yang berada persis di sebelah rumahnya ketika beliau berusaha melarikan diri, dan istrinya yang menggendong Ade Irma yang berlumuran darah dapat kita lihat di sana. Saya pribadi merinding menyaksikan patung-patung tersebut, berusaha memahami sejarah kelam negeri ini.

Johana Nasution
Bu Johana yang digambarkan sedang menggendong Ade Irma. Kasih ibu memang sepanjang masa :”(

Setelah dibawa keliling mempelajari sejarah duniawi Indonesia, kami digiring untuk mengingat akhirat. Mungkin biar imbang. Tujuan terakhir perjalanan kami adalah Masjid Cut Meutia. Bangunan ini memang bukan dibangun untuk masjid, karena dulunya dipergunakan untuk kantor. Jika dilihat dari atas, bangunan ini berbentuk salib sama sisi dan merupakan satu-satunya masjid dengan mimbar yang tidak berada di arah kiblat. Kata Farid, karpet di masjid ini wangi banget. Jadi pengen kapan-kapan nyoba sholat di sini :D.

Kata Theodore Roosevelt

The more you know about the past, the better prepared you are for the future.

Belajar sejarah itu perlu, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang pernah terjadi. Semoga negeri ini tidak akan mengalami masa-masa kelam seperti dulu lagi.

Selain Menteng, JGG juga punya empat tujuan walking tour lagi yakni sekitar Monas, Pasar Baru, Kota Tua, dan Glodok. Untuk mendapatkan update informasi dari mereka, bisa follow akun twitternya.

Ayo kapan kita walking tour lagi? 🙂

22 pemikiran pada “Jakarta Weekend Gateway: Belajar Sejarah Menteng Bersama Good Guide

  1. Sama dong ya aku dengan bung Hatta. Aku dulu berikrar ga akan kawin sebelum punya calon *dikepret berjamaah 😅😅

    Aku baru tau lho ada walking tour gini Fit di Jakarta. Informasi yang bermanfaat. Beda2 tipislah ya sama walking tour ala Deny keliling pusat Den Haag dulu 😆

    • Jiahahahahah *bantu ngepret*. Tour mu itu lebih spesial loh Den, tour and get free lunch! Itu klo beneran diterusi pasti laris terutama utk traveller yg ga bisa jauh dr nasi kayak aku. Tapi habis itu Mas Ewald musti tirakat nasinya aku habisin 😂

      • Dan setelah kamu, ada 2 orang blogger pas kesana aku kasih free walking tour *pemerintah DH musti berterimakasih sama aku nih :))) Bedanya mereka ga dapat free lunch. Berarti kamu spesial pakai karet dua haha

  2. Ayo ayo saya kepengen ikutan lagi supaya jari-jemari ini bisa nampang di tiket museum-museum yang selanjutnya :hehe. Kan katanya rutenya ada 5 tuh, ikut lima-limanya boleh kali ya Mbak :hehe. Keren euy penjelasannya lengkap banget, saya sendiri terus terang ada yang lupa dari jalan-jalan kita :haha. Nanti kalau saya bikin postingannya, izin pinjam beberapa referensi dari sini ya Mbak :hihi.

Tinggalkan Balasan ke ariefamarta Batalkan balasan