Karena merasa puas mengikuti Menteng Walking Tour bersama Jakarta Good Guide, saya memang berencana untuk mengkhatamkan semua tujuan walking tour yang ditawarkan oleh mereka. Kali ini saya berkesempatan mengikuti China Town Walking Tour yang diselenggarakan oleh JGG yang bekerja sama dengan Wisata Sekolah pada 1 November 2015.
Setelah tiba di meeting point yakni Seven Eleven Hotel Novotel jalan Gajah Mada dan melakukan registrasi, para peserta tur dibagi menjadi beberapa kelompok. Saya ikut di rombongan Farid lagi, seperti sebelumnya 😀 *mulai posesif*. Tujuan walking tour kali ini adalah Candra Naya, Glodok Area, Petak Sembilan, Vihara Dharma Bakti, Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, Vihara Toasebio, Candra Shopping Center, dan gang penjual makanan Gloria (atau kerennya Gloria Food Alley). Dari semua tempat tersebut, yang sudah pernah saya dengar hanyalah Glodok dan Petak Sembilan, padahal saya sudah sejak 2010 tinggal di Jakarta :D.
Candra Naya
Perjalanan dimulai dari Candra Naya yang terletak di belakang Hotel Novotel. Bangunan ini terdaftar sebagai bangunan cagar budaya di Jakarta dan memang tidak akan tampak dari pinggir jalan karena berada di tengah gedung mencakar langit.

Tidak ada yang tahu kapan Candra Naya dibangun, karena ketika bangunan ini ditemukan hanya ada petunjuk berupa kalender tahun kelinci api sehingga diperkirakan berdirinya adalah antara tahun 1807 atau 1867. Rumah ini merupakan milik keluarga Khouw yakni bekas rumah Mayor Khouw Kim An, mayor Tionghoa pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dari desain atap bangunan yang berbentuk atap sarang burung walet (ada juga yang menulis berbentuk ekor walet), kayu hitam yang digunakan, dan ornamen emas menandakan pemiliknya memiliki status sosial, jiwa seni, dan pendidikan tinggi. Bentuk rumah ini berbeda dengan kebanyakan bentuk rumah para pedagang Tionghoa yang lebih sederhana. Tahun 1944 Mayor Khouw Kim An ditangkap oleh tentara Jepang, dan meninggal pada tahun 1945 di kamp konsentrasi di Cimahi.
Tahun 1946, bangunan ini digunakan oleh yayasan sosial Sin Ming Hui yang ingin membantu komunitas Tionghoa yang terkena kerusuhan di tahun tersebut, dipergunakan sebagai tempat penampungan dan pusat kegiatan mereka baik untuk memberikan layanan kesehatan maupun pendidikan. Sin Ming Hui harus mengubah namanya menjadi “nama Indonesia” sebagaimana yang harus dilakukan oleh semua orang Tionghoa di tahun 1965, dan dipilihlah nama Candra Naya yang digunakan hingga sekarang.

Di pintu masuk Candra Naya terdapat tulisan yang diartikan sebagai “good fortune” dan “good life”. Di bagian belakang bangunan ini terdapat kolam kecil yang berisi ikan, yang dapat digunakan untuk relaksasi jika pikiran terasa jenuh. Sayang sekali kami tidak bisa masuk ke dalam Candra Naya karena akses ditutup ketika weekend. Sementara di sisi kanannya terdapat Kopi Tiam Oey, kedai yang saya cintai karena es coklatnya sangat enak! *bukan promosi*
Glodok Area
Sepanjang perjalanan, Farid (sang tour guide) menceritakan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia terutama di Jakarta. Menarik sekali, ternyata saya yang kurang suka sejarah ini telah melewatkan banyak kisah penting di masa lalu misalnya pada bulan Oktober 1740 terjadi pembantaian terbesar etnis Tionghoa di Batavia (Batavia Massacre/Chinezenmoord/Geger Pacinan) yang menewaskan sekitar sepuluh ribu orang Tionghoa.
Kawasan Glodok ini sebenarnya kurang layak jika disebut dengan pecinan karena tidak terbentuk secara natural, namun merupakan “bentukan Belanda” yang memaksa penduduk Tionghoa meninggalkan pusat kota Batavia dan membentuk pemukiman baru di Glodok. Meskipun demikian, sepertinya tidak ada kok yang keberatan menyebut kawasan ini sebagai Pecinan.
Di sini juga terdapat Jalan Pancoran (tadinya saya kira nama Pancoran hanya ada di Jaksel), karena dulunya ada air mancur di sekitar tempat tersebut. Asal usul nama Glodok juga banyak versinya, yang paling terkenal adalah berasal dari kata grojok yang merupakan bunyi air dari air mancur tersebut. Mungkin karena masyarakat di sekitar sini dulu kesulitan menyebut huruf “r”, muncullah sebutan Glodok. Imut ya :).
Di Jalan Pancoran ada toko obat tradisional yang telah berdiri selama tiga generasi dan yang paling tua adalah toko Bintang Terang. Di sekitar Glodok juga terlihat banyak kanal yang dibangun sejak jaman Belanda, sayangnya belum bisa dilewati perahu seperti di Amsterdam *mimpi*.

Petak Sembilan dan Vihara Dharma Bakti
Warna merah yang menghiasi pasar menandakan bahwa kami sudah memasuki kawasan Petak Sembilan atau Jalan Kemenangan. Siang itu terlihat aktivitas pasar yang ramai dengan kegiatan jual beli. Kawasan ini didominasi oleh penduduk keturunan Tionghoa. Di ujung jalan terdapat Vihara Dharma Bakti yang merupakan vihara tertua dan terbesar di Jakarta. Namun sayang vihara ini terbakar pada 2 Maret 2015 lalu dan belum direnovasi.

Vihara Dharma Bakti juga disebut dengan Koan Im Teng (yang menjadi asal muasal sebutan “klenteng”) di mana di dalamnya terdapat patung sang dewi yang selamat ketika kebakaran terjadi. Masyarakat Tionghoa yang mengedepankan aspek keseimbangan yin yang, konon kabarnya membangun vihara di kawasan pasar untuk menetralisir energi panas yang datang dari kegiatan perdagangan. Uang memang bikin panas sih ya 😀 *kipas-kipas pakai duit*.

Gereja Katolik Santa Maria de Fatima
Ada yang unik dari bangunan gereja ini, tidak seperti gereja kebanyakan. Bangunan dengan arsitektur ciri khas Tionghoa ini awalnya memang bukan diperuntukan sebagai gereja karena merupakan rumah pribadi seorang kapitan Tionghoa yang baru diresmikan sebagai gereja pada tahun 1954.

Kalau tidak salah, dinamai gereja Maria de Fatima untuk memperingati kemunculan Maria di kota Fatima – Portugal di depan ketiga muridnya. Di sini juga ada replika patung mereka atas kejadian tersebut.
Vihara Toasebio
Vihara ini juga disebut dengan Vihara Dharma Jaya. Dinamai Toasebio (toase: messanger, bio = temple) untuk menghormati pembawa pesan (messanger) dari Cina datang ke Batavia yang mengingatkan masyarakat untuk berdoa dan beribadah kepada dewa mereka.

Setelah Vihara Dharma Bakti terbakar, vihara ini menjadi ramai dikunjungi masyarakat yang hendak beribadah.
Gloria Food Alley
Di gang ini terlihat banyak penjual makanan. Kuliner yang terkenal adalah kopi es Tak Kie yang didirikan sejak tahun 1920-an. Sering kali siang hari kedai kopi ini sudah tutup karena dagangan mereka sudah habis. Selain itu juga ada mie kangkung si Jangkung yang katanya enak sekali. Mungkin kapan-kapan bisa ke sini lagi khusus untuk wisata kuliner.

Perjalanan kali ini berakhir di depan Si Jangkung. Dengan mengikuti walking tour seperti ini, kalimat yang sering saya ucapkan adalah “oh gitu ya?” karena banyak sekali informasi yang baru pertama kalinya saya dapatkan mengenai Jakarta dan sejarah kelam nya.

Kesimpulan dari perjalanan ini adalah masih ada tiga objek walking tour dari Jakarta Good Guide yang menjadi pe-er saya :).
Ah sayang sekali kemarin saya belum sempat ikut walking tour yang satu ini :huhu. Semoga di kesempatan selanjutnya bisa ikut lagi :)). Menarik memang tahu apa asal-muasal suatu tempat di masa lalu, ceritanya yang banyak, kita jadi makin paham jadinya bisa makin sayang dan mulai menjaga peninggalan-peninggalan di sekitar kita–seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang :hehe.
Gara pake acara ke kondangan sih :p Aamiin saya jugaaa mau banget ikutan tur sisanya *ketagihan*. Sebenernya ada satu juga yang di deket rumah dan belum pernah dikunjungi “TMP Kalibata”. Pe-er berikutnya 😀
Sip Mbak… kalau berkenan, kabar-kabari ya :hehe, siapa tahu bisa ikut.
Thank you, Fitri for the blogpost! Interesting. Tapi, kayaknya Farid ada kesalahan sebut, Candra Naya rumah keluarga Khouw dan bukan Kim, karena Khouw Kim An nama keluarganya adalah Khouw. Maaf yaaa salah sebut. 😀
Haloo Good Guide, hahaha okeee langsung direvisi niiih. Thanks for reading and cant wait for the next tour yaaa 🙂
Ehh kamu kok posesif?! #MasFaridMilikBersama #ikiopoooo
Btw mau yaaa foto yg rame2 ini, foto yg bawa spanduk itu agak backlight 😦
Duh gawat darurat klo sampe Farid baca 😂😂😂 Iya tar aku kirim by email aja kali ya biar ga pecah resolusinya
Menarik sekali laporan pandangan matanya. Mudah-mudahan saya juga berkesempatan blusukan ke kawasan ini.
Makasih udah mampir 😄. Iyaaa banyak banget ternyata lokasi di Jkt yg layak dieksplorasi spt Pecinan ini. Semoga ya bisa blusukan segera sama incip2 es kopi
eh seruuu banget kak, ini yang ama kak dita juga ya.
salam kenal 🙂
Salam kenal juga mas. Masih di rasta? 😀 hihi iya bareng sama Dita, kami fans Jkt Good Guide
ehh, aku baru tau ada gereja Maria de Fatima… *kemana aja* *mainnya jauh-jauh sih ya* hahahaha….
Baru tau asal muasal nama Glodok,,
Next walking tournya kapan tante??ajyaaaaak
Ntar tante infoin deh yaaa. Keep in touch. Jgn minta SPD dari Sorong tapih 😂
[…] Amsterdam, Belgia (Antwerp, Bruges dan Ghent), Stone Garden, keliling Menteng, blusukan ke China Town di Glodok, dan jalan-jalan di City Center Jakarta Pusat. Yang paling berkesan tentu saja solo […]