First Date: Traveling ke Amerika Serikat [Part 2]

first date

Culture: perihal Menahan pintu dan tip

Perjalanan lintas negara lintas benua memang membawa banyak hal baru. Salah satu contohnya, di Jakarta saya tidak terbiasa menahan pintu untuk orang di belakang saya. Ketika hari pertama sampai di Milwaukee, saya masih membawa kebiasaan tersebut. Ujung-ujungnya disenyumin Mr. S dan dikasih tau kalau di sana mereka terbiasa untuk menahan pintu agar orang di belakangnya dapat keluar/masuk dengan nyaman. Gentle ya!

Mengenai tip, saya juga tidak terbiasa memberikan tip ketika selesai makan. Lha seringnya makan di warteg. Di sana, secara tidak tertulis, customer akan memberikan tip yang nantinya akan diberikan kepada waiter. Kata Mr. S sih biasanya 15% dari total bill. Tambahan income waiter bergantung pada tip tadi.

bill dan tip

Ketika kami makan di resto sushi, setiap waiter akan melayani customer tertentu dari mereka datang hingga selesai makan. Berbeda dengan di Jakarta, tidak ada customer yang memanggil-manggil “mas-mas” atau “mbak-mbak” ke waiter-nya.

Bagaimana cara kerja waiter tersebut? Ketika kami baru datang, waiter akan memberikan buku menu (sama seperti di sini), kemudian meninggalkan kami untuk memilih-milih. Tadinya saya pikir kami perlu melambaikan atau mengangkat tangan ketika kami sudah siap memesan. Ternyata tidak perlu. Waiter tadi akan datang lagi setelah beberapa waktu. Proses pemesanan sama seperti di sini.

Bagaimana kalau di tengah makan, kami pengen menambah pesanan? Waiter ternyata datang lagi, menanyakan bagaimana makanan minuman yang kami pesan apakah enak, apakah ada yang kurang, atau apa kami ada tambahan pesanan. Bahkan kadang di tengah makan mereka datang beberapa kali untuk memastikan apakah ada hal lain yang kami butuhkan. Ketika sudah selesai, waiter akan membawakan bill dan kami meminta container yang ramah dengan microwave untuk membawa pulang makanan kami yang tidak habis. Porsi makan di sana memang portugal (porsi tukang gali). Banyak banget! Sudah dimakan berdua, masih saja ada sisanya.

milwaukee, wisconsin

Setelah mendarat di O’hio, kami naik bus ke Milwaukee. Rute perjalanan kami selama trip ke Amerika Serikat ini adalah Chicago – Milwaukee – New York City – Chicago. Jalan tol antar negara bagian di sana lebar banget dan tentu saja mulus. Perjalanannya kurang lebih satu setengah jam. Sepanjang perjalanan Mr.S menceritakan pemandangan yang kami lewati atau kebiasaan penduduk di sana, termasuk cerita tentang kasino yang dibangun di atas “tanah adat”. Seru! Walaupun encok banget ya, mau ngedate aja harus terbang separuh bumi 😦 .

Di Milwaukee dinginnya melebihi tatapan mantan yang ditinggal tanpa alasan. Di dalam ruangan yang sudah ada penghangat dan pakai selimut saja, saya sebagai anak tropical island masih menggigil kedinginan, karena anginnya masuk melalui celah di bawah jendela.

Kesan pertama tentang Milwaukee: kotanya bersih dan rapi! Walau begitu, saya juga tidak mau tinggal di sana karena ga kuat sama dinginnya yang saat itu real feel-nya mencapai -27 derajat celcius.

Hari pertama sampai di Milwaukee sudah malam, jadi kami hanya dinner di resto Vietnam dan memesan Pho yang mangkoknya besar banget. Lebih mirip baskom kobokan. Pantesan ya orang di sana tinggi besar gitu.

Hari kedua, saya yang masih jetlag tidak bisa bangun pagi. Lagi pula untuk berangkat mandi saja perlu dua jam fase denial –  bargaining – acceptance. Ga mandi ya ga mungkin banget karena hari sebelumnya selama di perjalanan juga ga mandi, tapi kalau mau mandi pasti dingin banget karena pakai baju berlapis-lapis saja masih kedinginan. Dilema hidup yang nyata. Di hari itu sepertinya kami baru mulai jalan sekitar jam 2 siang. Tujuan pertama adalah mencari sepatu, karena yang saya bawa dari Jakarta tidak cukup untuk bertahan hidup di sana.

Setelah mendapatkan sepatu yang saya mau di Kohl’s dengan harga $65 (setelah diskon) dan beanie untuk Mr.S, kami ngedate (baca: berlindung dari udara dingin di luar) di coffee shop sambil menunggu resto sushi buka pada jam 5 sore. Dari dulu saya pengen kalau diajak ngedate tuh ke coffee shop sama ngobrol atau baca buku. Akhirnya terwujud juga 😀 .

ngedate di coffee shop: checked

Hari ketiga, kami naik bus ke Walmart untuk mencari jaket dan beberapa printilan. Walmart ini semacam Carefour atau Hypermart kalau di Jakarta. Barang-barangnya relatif murah. Jaket yang saya beli saja kalau tidak salah harganya kurang dari tiga ratus ribu. Setelah selesai belanja, kami dijemput oleh teman kampus Mr.S yang berasal dari Nepal untuk keliling Milwaukee, diawali dengan berkunjung ke kampus Mr.S.

biar tetep kayak mahasiswa

Banyak yang menanyakan, Mr.S ini ngapain di Amerika. Dia mengambil PhD Fisika, dengan bekerja sebagai asisten di kampusnya. Dengan program sepert ini, Mr.S tidak perlu membayar biaya kuliah, namun mendapatkan gaji juga asuransi. Selain ke kampus, saya juga diajak ke iconic building di Milwaukee yakni Milwaukee Art Museum yang pernah digunakan sebagai tempat shooting Transformer. Belum ke Milwaukee kalau belum foto di depan museum ini 😀 .

Milwaukee Art Museum
menu dinner: bebas pilih dosa

Hal lain yang membuat saya terpana di Milwaukee adalah ketaatan mereka pada lalu lintas. Ketika kami subuh-subuh berangkat ke bandara, para pengendara mobil dan supir bus tetap mematuhi lampu lalu lintas padahal jalanan sepi banget.

New York, new york

Sebelumnya, saya hanya tau gambaran kota New York dari film, liputan berita di tv, novel Architecture of Love-nya Ika Natassa, atau instagram @kartuposinsta. Di New York, pertama kalinya saya melihat salju, karena ketika di Milwaukee saljunya sudah menjadi es. Maap, norak 😦

Dari Milwaukee ke NYC (La Guardia Airport) kami menggunakan pesawat Delta yang ditempuh selama hampir dua setengah jam, dengan harga tiket $119.10 tidak termasuk bagasi. Kalau ada bagasi maka ketika check in, kita harus ke counter dan membayar $25.

Demi menekan biaya transport, kami sebisanya menggunakan transportasi umum selama di NYC. Untuk menuju ke penginapan yang letaknya di sekitar Central Park, dari La Guardia kami naik bus Q70 di Terminal B dan berhenti di Roosevelt Ave. Dari sini kami berjalan kaki ke Roosevelt Ave – Jackson Heights Subway Station jalur F yang ke arah Coney Island. Kami turun di 57th Street yang sudah selemparan batu dari Central Park. Ketika sudah sampai di sana, saya masih terpana. Perjalanan ini tidak pernah saya impikan sebelumnya. New York, New York!

Subway station di NYC ini khas banget, kalau yang pernah nonton tv series Suits pasti tau. Kalau sedang jalan dan menemukan tempat yang bertuliskan lingkaran warna-warni dengan huruf di dalamnya, itu pasti subway station. Biaya untuk setiap perjalanan adalah $2.75.

subway station

Saking banyaknya tempat yang disarankan oleh TripAdvisor untuk dikunjungi, kami akhirnya membeli NY City Pass dengan harga $112 per orang. Dengan city pass ini ada enam tourists attractions yang dapat dipilih. Kami hanya mengunjungi lima tempat yakni The Empire State Building, American Museum of Natural History, Top of the Rock Observation Deck, Statue of Liberty & Ellis Island, dan 9/11 Memorial & Museum.

Pilihan NY City Pass
titipan doa
Scientology Church
Times Square. Beda tipis sama Pasar Baru lah ya

Makan di nyc

Karena sudah dua tahun Mr.S belum pulang ke Indonesia, hari pertama sampai di NYC kami langsung mencari resto Indonesia yakni Bali Nusa Indah. Sepanjang perjalanan ke sana banyak kami temukan deretan resto makanan Asia dan Asia Tenggara. Review terhadap restonya adalah OVERPRICED buat kami! Duh mahal banget kalo dikurskan ke rupiah *nangis goler-goler di salju* hahaha, makanannya juga cenderung asam menurut Mr.S.

Setelah belajar dari pengalaman makan di resto Indonesia, kami berikutnya makan di food truck (halal guys), resto Jepang, Wasabi Sushi & Bento, makanan India di Grand Central Station, yang penting sebisanya ada nasinya dan tidak overpriced. Tadinya kami mau mencoba Shake Shack tapi ga kuat antrinya, panjang bener! Yang perlu dicoba juga adalah cinnamon roll-nya Cinnabon. Kami ga sengaja menemukan Cinnabon di salah satu outlet kecil Auntie Anne’s di tengah NYC. Enak banget! Mungkin karena saat itu kami kedinginan dan makannya pun dibagi berdua, jadi rasanya lebih enak :p. Starbucks di sana juga banyak.

Jalan bareng Mr.S membawa rejeki tersendiri. Karena mukanya yang Indonesia banget dan juga ramah (aka SKSD), kami pernah diberi bonus kue oleh penjual yang berasal dari Asia. Alhamdulillah 😀

obat-obatan dan hand warmer

Mungkin karena perbedaan cuaca yang cukup drastis, saya sempat mengalami radang tenggorokan di sana, hidung juga berdarah. Karena sudah lama ga kena radang, saya lupa untuk membawa obat radang dari Jakarta. Jadilah Mr.S googling dulu beberapa obat untuk meredakan radang, yang kemudian kami cari di Walgreens. Obatnya seperti permen, dihisap gitu. Satu saja sudah membantu banget.

Hand warmer juga bisa ditemukan di Walgreens, berupa butiran yang akan mengeluarkan panas dan dapat bertahan hingga sepuluh jam. Biasanya saya akan meletakkan hand warmer ini di saku jaket atau kalau dingin banget ditaruh di dalam sarung tangan. Sangat membantu untuk mengurangi rasa dingin ketika menyusuri jalanan kota New York dan Chicago.

(cerita tentang destinasi wisata akan dituliskan di post berikutnya. Insya Allah 😀 )

Iklan

7 pemikiran pada “First Date: Traveling ke Amerika Serikat [Part 2]

  1. Ya ampun kamu kalo buka pintu gak pernah nahanin orang di belakangmu. Hufth 😞 Aku jangankan nahan pintu. Karpet aja sebelum orang lewat aku bersihiin.. Apalagi yg lewat pegawai plat merah numero uno kayak kamu kaaaak

  2. kalo liburan musim dingin emang tantangannya besar, apalagi klo mau foto2, duh tip 15% gede juga ya untuk waiternya, klo nanti gue ke Amerika beli junk food aja biar hemat :). salam kenal kak

Habis maen komen dong :D

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s