Hanya cerita pendek yang terinspirasi dari sebuah percakapan.
Panasnya jalanan Jakarta siang itu terasa kontras dengan sejuknya udara di dalam salah satu mall yang berada di dekat tempatku menunggu bis Bekasi. Sambil meminum iced coffee yang aku beli dari sebuah kedai kopi ternama, aku berdiri di bawah terik matahari dengan balutan asap berbagai kendaraan pribadi sampai metro mini.
Aku menghela nafas. Entah tanda kecewa atas carut marutnya tata ruang ibukota atau karena bis yang tak kunjung datang. Atau mungkin karena keduanya. Bisa jadi.
Di depanku berdiri seorang lelaki paruh baya, kulit hitamnya seakan menandakan bahwa dia berteman baik dengan matahari siang di Jakarta. Di tangannya ada beberapa buku tipis dengan sampul berwarna cerah. Kamus bahasa inggris bergambar rupanya. Aku mengetahuinya setelah mencuri pandang ke arah sampul buku yang dibawa lelaki itu.
“hmmmhh, susahnya cari duit jaman sekarang. Cepet kiamat ajalah ya Tuhan kalo kayak gini.. “, keluhnya.
Aku mengrenyitkan dahi seketika, “doa macam apa itu ? “ gerutuku dalam hati.
Dia menghitung uang yang diambil dari saku kaosnya yang bergambar salah satu caleg dari partai besar. Sepertinya itulah uang yang diperoleh lelaki itu sejak pagi hingga menjelang sore ini. Dalam hati aku ikut menghitung, karena tidak banyak lembaran lima ribuan yang dia miliki.
Aku tercekat.
Kopi yang daritadi aku bawa dan aku minum, bagaikan obat dehidrasi yang sangat mujarab, seketika berubah menjadi cairan getir dan pahit yang meracuni hatiku bak Klorokuin dan Primakuin untuk penderita malaria. Aku merasa bersalah pada lelaki setengah baya itu. Aku kehilangan nafsu untuk menghabiskan sisa iced coffee ku tadi yang masih setengah gelas.
Betapa tidak, uang yang dia cari dengan susah payah hanya sepertiga dari harga segelas es kopi yang harus aku bayar. Aku merasa berdosa. Merasa dibodohi nafsu sendiri. Andai saja aku lebih bijak, uang yang aku belikan es kopi tadi bisa aku berikan padanya. Mungkin tidak kurang dari 30 bungkus mie instan bisa diberikan pada anak-anaknya untuk makan selama beberapa hari. Atau bisa ditukarkan dengan 8 kg beras kualitas biasa beserta ikan asin. Aku merasa begitu egois.
Bis yang aku tunggu telah datang. Aku segera naik dan memilih bangku yang berada di dekat jendela. AC yang ada di dalam bis memberikan kesejukan setelah setengah jam aku berdiri menunggunya bersama panas matahari Jakarta.
Pikiranku memutar kembali kejadian sekitar dua tahun lalu, sebelum aku mendapatkan pekerjaanku yang sekarang. Di masa aku menjalani hari-hari bersahabat dengan terik matahari Surabaya, sembari membawa beberapa sample produk. Aku pernah bekerja sebagai seorang sales panci.
Berjalan menyusuri trotoar, masuk dari satu perumahan ke perumahan lain dengan harapan ada dua panci atau lebih yang terjual setiap hari. Tidak mudah memang. Tak jarang betisku yang sudah kaku karena berjalan mulai pagi sampai magrib tak menemui hasil yang sepadan, bahkan hanya untuk membeli counterpain pun tak cukup.
Sampai akhirnya aku diberi tahu seorang teman bahwa perusahaan tempatku bekerja sekarang sedang membuka lowongan. Kebetulan aku memenuhi kualifikasi yang diajukan. Setelah menunggu selama tidak kurang dari 2 bulan, akhirnya aku mendapatkan kabar gembira. Aku diterima dan akan pindah ke Bekasi.
Keluargaku juga menyambut gembira. Perjuangan ayahku yang hanya seorang petani, dan ibuku yang berjualan batik keliling membuahkan hasil. Kaki ibu pun harus dikorbankan untuk bisa membantu ayah membiayai sekolah sarjanaku dan dua orang adikku. Tulang kaki kanan ibu meradang karena kelelahan dan kurang kalsium, sehingga sekarang ibu sulit untuk berjalan.
Pada hari kepergianku, aku melihat air mata kedua orang tuaku. Aku mengartikannya sebagai air mata bahagia sekaligus kecemasan. Sebagai anak perempuan tertua dan satu-satunya, aku harus pergi jauh dari mereka dan pindah ke kota yang entah bagaimana lingkungan keagamaan dan sosialnya. Berita di tv tentang pembunuhan, pemerkosaan dan narkoba semakin membuat hati mereka berat untuk mengantarkan kepergianku.
Tak banyak pesan dari mereka. Ayah hanya berbisik “jaga iman, nak”, ibu berpesan “jangan lupa sholat ya nduk” ketika kami berada di stasiun Gubeng. Sementara kedua adik lelakiku sambil berkaca-kaca, mengingat mereka tak pernah berpisah jauh dariku, berkata “kalo lebaran jangan lupa pulang ya mbak”. Harapan yang sederhana, pikirku saat itu.
Aku menegakkan posisi dudukku dan mengambil uang untuk membayar bis. Tak terasa dua tahun sudah aku jauh dari mereka, keluargaku. Pesan-pesan sederhana itu ternyata tak semudah yang aku kira, iman dan sholat.
Entah berapa lama aku meninggalkan sholat dhuha, apalagi tahajjud. Tenagaku sudah hampir habis untuk bekerja yang sering kali baru pulang setelah jam 7 malam, dan rasa kantuk yang tak tertahankan saat membaca buku di kamar. Jangankan tahajjud, isya pun kadang terlewatkan begitu saja karena sering dikalahkan oleh acara tv atau browsing internet.
Istighfarku dalam hati. Pernah aku merasakan kedamaian itu, uang yang tak berjumlah jutaan pun rasanya cukup dan penuh berkah. Saat di mana aku rajin beribadah wajib dan menambahkan 4 rakaat dhuha dan 4 rakaat di sepertiga malam.
Entah apa kesibukanku selama ini, dhuha terlewat begitu saja. Ku cukupkan hanya pada sholat wajib, itupun di akhir waktu sholat dengan dalih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.
Buliran air yang terasa hangat mulai membasahi pipiku. Aku membasuhnya segera dengan tissue karena tak ingin menarik perhatian penumpang lain. Pilu. Ada ketakutan dan kekecewaan pada diri sendiri. Ketakutan akan apa yang bisa menjadi bekalku ketika jasad ini tak lagi bernyawa. Kekecewaan akan waktu yang telah aku sia-siakan begitu saja, uang yang aku belanjakan yang hanya untuk kepuasan diri yang tak ada habisnya.
Tuhan, aku berdosa padaMu, aku mendzolimi hambaMu. Luruskan jalanku sekiranya aku tak lagi lurus, ingatkan aku sekiranya aku sedang lupa, rengkuh aku sekiranya aku berlari terlalu jauh, putarkan kembali gambar wajah ayah ibu dan pesan mereka ketika aku salah arah. Mungkin kejadian kopi dan lelaki paruh baya tadi adalah salah satu caraMu untuk mengingatkanku.
Ku buang gelas plastik kemasan kopi tadi sesampainya aku di rumah. Pahit manis rasa iced coffee begitu cepat hilang dari lidah, bahkan sebelum aku menemukan tempat sampah. Namun tidak demikian halnya dengan getir yang tersisa dan mengendap.
hehhee…tetap aja mesti jalan…
ati2, jangan lupa belok 😀
*nglirik kategori
cerpen? atau tentang perjalanan nyata?
baguss mpitt…
hihih makasiii uda baca dan atas compliment nya. Humm, pengalaman pribadi, pengalaman mbak fai dan dicampur dengan imajinasi 😀
Hug..hug..hug.. Bagus.. Kisah nyata atau bukan, tetep bagus.