Ini adalah pertama kalinya saya merasakan peringatan Hari Kartini yang membekas di hati. Di kantor saya, bisa dibilang, peringatan Hari Kartini dikemas secara apik. Dengan begitu saya merasakan lingkungan yang benar-benar memaknai dan menghargai kehadiran perempuan dalam dunia kerja, meskipun jumlah perempuan yang bekerja di kantor saya ternyata tidak lebih dari 10% saja dari keseluruhan pekerja.
Pada peringatan kali ini temanya adalah Super Women @Work dan ada sesi talk show dengan narasumber para perampuan yang bisa dikatakan memiliki outstanding achievement. Mereka adalah Christine Hakim, Karen Agustiawan, Evita Legowo, Ratih Ibrahim, dan Anny Ratnawati. Melihat prestasi mereka saja saya merinding dan bangga menjadi perempuan Indonesia :).
Kelebihan yang diberikan Tuhan kepada para perempuan, yakni kemampuan multitasking, bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan peran mereka baik sebagai istri dan ibu, maupun sebagai pekerja. Di tengah-tengah kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, tenaga dan pikiran, para perempuan masih bisa memberikan perhatian kepada keluarga dan orang-orang yang dikasihinya dengan mengirim sms, BBM, telpon dsb.
Perempuan yang bekerja, apapun profesi halalnya, memiliki bargain position yang strategis. Kasarnya jika ada bermacam-macam jenis martabak, mereka adalah martabak spesial campur telor plus keju bahkan :). Yang perlu diingat adalah menjadi perempuan itu harus mandiri, berdiri di kaki sendiri. Hal ini dikarenakan alasan kodrat perempuan (terutama yang sudah menikah) yang berdiri di antara dua pilihan yang diberikan pria (lagi-lagi kasarnya), yakni ditinggal meninggal atau ditinggalkan dengan berbagai alasan. Oke, ini mungkin terasa tidak adil bagi pria yang memiliki pengalaman ditinggal oleh perempuan, tapi dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membahas hal tersebut.
Tak dipungkiri bahwa banyak para ibu yang berpesan kepada anak perempuannya agar tetap berkarir meskipun mereka telah berkeluarga. Bukannya mereka dan kami para perempuan berfikir negatif terhadap pria, tetapi bagaimanapun juga saya fikir kami-kami ini juga harus melakukan tindakan yang rasional. Meskipun saya tahu dalam hukum agama saya, perempuan tidak pernah diwajibkan untuk bekerja apalagi turut menafkahi keluarga, cmiiw. Ya umur orang siapa yang tahu, jika ada seorang perempuan yang ditinggal meninggal oleh suaminya dan dia harus membesarkan anak-anak mereka seorang diri, maka posisi para ibu yang berkarir akan lebih menguntungkan. Bukankah sedia payung sebelum hujan akan lebih baik?
Lantas bagaimana jika pacar tidak senang melihat kita bekerja? Lah, masih jadi pacar saja kok sudah posesif dan mengatur-atur, apa kabarnya kalau setelah menjadi suami? Mbak Ratih selaku psikolog menyarankan untuk mencari calon pendamping yang lain saja, yang bisa menghargai dan mendukung keputusan kita. Dan saya memberikan nilai sempurna untuk pernyataannya ;).
Jika saya menjadi pria, saya juga akan senang memiliki pasangan yang tidak melulu hidupnya hanya mengenai saya. Lah siapa yang mau ketika ingin berkumpul dengan teman-teman or taking me time, namun terpaksa mengurungkan niat hanya karena pasangan tidak rela ditinggal sendiri? Atau ada kalanya si perempuan ingin belanja, dan sebagian besar pria akan merasa malas sekali untuk menemaninya belanja, akan lebih baik jika si perempuan berbelanja dengan teman-temannya.
Perempuan yang memiliki cita-cita, tahu potensi apa yang dimilikinya, tahu apa yang ingin dicapainya, mencintai apa yang dilakukannya, menyadari posisi dan kodratnya sebagai perempuan, perempuan mandiri dan memiliki rasa percaya diri, bagi saya dia adalah perempuan yang seksi dan cantik :).
Selamat Hari Kartini bagi seluruh perempuan Indonesia: para ibu rumah tangga, para wanita karir, para pembantu dan tenaga kerja wanita, para lajang, para istri, para teman-teman dan sahabat, para adik dan kakak, saudara sedarah maupun bukan, semuanya. Apapun pekerjaan kalian, saya tahu kalian adalah orang-orang yang luar biasa.
Hargailah diri sendiri sebagaimana kita ingin dihargai orang lain. Semoga semakin benderang sinar kita dalam menerangi agama, keluarga dan negara. Dan semoga kita masih berada pada landasan yang sama dengan yang diimpikan oleh Kartini, sang ibu emansipasi :).