Melanjutkan cerita sebelumnya. Sebenarnya, ada rasa enggan untuk menuliskan cerita demi cerita Karena Pendidikan Adalah Hal Yang Istimewa ini. Saya enggan untuk membuka kembali ingatan saya akan masa-masa itu. Tapi saya tidak ingin lupa akan apa yang telah dilakukan oleh orang tua saya, apa yang telah berhasil kami lewati bersama. Mungkin suatu saat anak-anak atau keponakan saya akan membaca halaman ini dan lebih mengenal kakek neneknya, belajar memaknai sebuah perjuangan dan mensyukuri apa yang mereka dapatkan.
Setelah saya menerima ijazah SD, dan secara resmi menyelesaikan pendidikan dasar saya di Singkawang (SDN 18 Pasiran, Singkawang), saya dan keluarga kembali ke kampung halaman, ke sebuah desa kecil yang terletak di bawah keagungan Gunung Kelud yang masyur itu. Terlalu sedihkah atau terlalu hilang harapan bahwa kami nantinya masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, yang membuat saya urung menyampaikan kata perpisahan kepada teman-teman saat itu, saya pun sudah lupa.
Ketika kembali ke Jawa, kakak kedua saya masuk ke SMA bersamaan dengan saya yang masuk SMP, sementara kakak pertama saya naik ke kelas 2 SMA. Bapak dan ibu memutuskan untuk menggunakan uang yang selama ini mereka kumpulkan untuk biaya sekolah kami, anak-anaknya, dan modal usaha bapak. Rumah yang sudah tua, yang dibeli mereka sejak saya belum lahir, diabaikan keperluan renovasinya.
Ketika hujan deras, tak jarang ibu sibuk mencari baskom atau apapun yang bisa menampung air hujan yang masuk dari celah-celah genteng rumah. Jangankan air hujan yang masuk melalui genteng, rumah kebanjiran karena tanahnya yang lebih rendah dari jalan raya di depan rumah juga pernah saya alami. Sehingga ketika tetangga tidur lelap karena udara dingin hujan di malam buta, saya dan ibu (karena hanya kami berdua saja yang di rumah saat itu) harus terbangun dan membereskan banyak hal. Ternyata keluarga yang menyewa rumah kami selama kami tinggalkan, tidak merawatnya dengan baik.
Seingat saya, bapak pernah mencoba berbagai macam usaha untuk tetap menghidupkan asap di dapur dan memastikan uang sekolah kami terbayar. Mulai dari jual beli mobil, menerima pesanan untuk rental mobil, bertani, dan segala hal lain yang bisa bapak lakukan maka akan dikerjakan. Demikian juga ibu. Meskipun ibu adalah orang yang keras, namun di balik itu semua saya tidak akan pernah melupakan perjuangan ibu untuk membantu bapak menghasilkan rupiah demi rupiah. Kulit ibu yang ketika saya kecil dulu bersih dan terawat dengan baik (saya ingat betul karena saya sering tidur di lengannya, mengusap dan menciumi tangannya yang bersih), perlahan berubah coklat terbakar matahari.
Pada akhirnya bapak merantau kembali ke Kalimantan setelah uang tabungan keluarga menipis karena bapak sempat ditipu orang. Kedua kakak saya juga ikut dengan bude yang tinggal di kota sebelah untuk melanjutkan pendidikannya. Tinggallah saya berdua saja dengan ibu di rumah. Awalnya keadaan itu terasa berat, sangat berat, bagi saya yang terbiasa tumbuh bersama kedua orang tua ada di sisi saya. Namun beginilah hidup, tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Masa hidup yang gelap yang membuat kita menghargai cahaya.
Saya sering menangis ketika melihat wajah ibu yang kelelahan tertidur di kursi panjang, yang ada di belakang meja belajar saya, dari pancaran sinar lampu belajar yang masih hidup hingga larut di setiap malam saya menghadapi ulangan. Ibu selalu menemani saya belajar, meskipun akhirnya beliau tertidur di kursi. Meja belajar itu juga berhasil saya miliki setelah mendapatkan beasiswa dari sekolah. Beasiswa yang entah datang dari mana, karena saya tidak pernah merasa mendaftar. Ibu harus pandai untuk memutar uang dan berhemat, karenanya saya tidak berani meminta untuk dibelikan meja belajar.
Tidak pernah, selama saya di rumah dan belum ngekos, saya merasa tidak ditemani belajar setiap ada ulangan. Ibu selalu ada untuk menyemangati, menyiapkan susu atau makanan, karena ibu tau saya sering merasa lapar ketika belajar. Biasanya ibu juga terbangun dan mengingatkan saya untuk segera tidur.
Saya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu orang tua menghadapi kesulitan demi kesulitan ekonomi saat itu, kecuali hanya dengan bersekolah dengan baik. Nilai-nilai rapot yang tidak pernah lepas sebagai juara kelas adalah satu-satunya yang bisa saya berikan kepada bapak dan ibu. Setidaknya ada rasa kebanggaan atas perjuangan yang tidak sia-sia dari mereka yang ingin saya sampaikan melalui nilai-nilai itu.
Waktu berlalu, namun tidak sama halnya dengan kesulitan kami. Proses “gali dan tutup lubang” terus berlanjut apalagi ketika kakak pertama saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Saya bisa memahami jika bapak dan ibu merasa sangat berat untuk membiayai kuliah anak-anaknya. Bisa lulus SMA saja saat itu rasanya sudah merupakan hasil perjuangan. Kakak saya bersikeras untuk dikuliahkan, alasannya hanya satu yakni agar keadaan keluarga kami berubah (to be continue..).