Bertahun (Lagi)

Lebih dari 3 tahun ya perjalanan kita? Hmm, ga terasa. Aku pikir baru beberapa bulan berselang saja, karena masih banyak yang harus ku pahami tentangmu 🙂 .

Masih inget ga jaman-jaman kita masih (sama-sama) kuliah?

Lebih sering menikmati dinginnya udara malam Malang dan lampu-lampu terang itu, dari pada menikmati minuman hangat di warung makan atau cafe. Iya, karena duit kita pas-pasan, malah kadang ga punya duit 😀 .

Jaman-jaman kita mengerjakan tugas kuliah, dan aku harus memaksamu untuk ngerjain Pemrograman Internet karena aku ga bisa. Masih inget? Kita berteduh di teras orang di depan masjid sambil membawa monitor, main tebak-tebakan kata: kita harus menemukan di mana kata itu berada. Masih aja bisa ketawa-ketawa tanpa beban, padahal kita keujanan deras, dingin banget.

Jaman-jaman dirimu selalu akan muncul di depan pintu kosku kalau kita sedang berselisih. Entah hujan entah panas. Entah dateng dengan selamat atau degan goresan-goresan luka karena kecelakaan di jalan, dengan baju kering atau basah kuyup tanpa mantel. Cuman untuk memastikan kita bisa tertawa lagi, saling bercerita hal lucu dan sederhana tapi hangat. Masih inget?

Aah, 3 tahun.

Kita pun terus bergerak, berusaha untuk bersama, nantinya.

Ku lihat dirimu masih sama, selalu muncul di depanku jika kita berselisih. Walaupun sekarang bukan 7 atau 8 Km lagi yang musti ditempuh, tapi 900 Km lebih. Dan masih saja kau melakukan hal yang sama 🙂 .

Kita sekarang juga sudah bisa mencari penghasilan yang baik. Bisa makan di tempat yang kita inginkan, mencicipi beraneka makanan. Kita bisa membeli ini itu. Bukankah kita seharusnya tak henti-henti bersyukur akan semua ini?

Aah, 3 tahun rasanya hanya sekejap mata. Aku masih ingin lagi, berlipat-lipat tiga tahun lagi. Memenuhi buku harian kita, dan membeli selusin yang baru lagi untuk terus diisi dan diwarnai. Sebagai bahan cerita kita nanti, saat kau berada di sampingku menikmati bintang atau air hujan yang turun. Dari balik jendela.

Iklan

Wanita Tangguh

Pagi ini kakakku mengirimkan pesan singkat, yang sangat singkat. Berisi kegagalannya dalam tes masuk salah satu departemen di negara ini. Ini bukan pertama, kedua, kelima atau kesepuluh kegagalan yang diterimanya.

Entah apa yang berkecamuk di batinnya. Aku pun tak pernah tau. Kereta api, bis, mengantarnya dalam menjalani satu persatu tes keparat itu. Kegagalan demi kegagalanlah berita yang selalu diterimanya.

Puluhan atau mungkin lebih dari seratus map coklat itu telah dikirimnya ke berbagai tempat. Untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, walaupun dia juga telah memiliki pekerjaan saat ini.

Dan dia tak pernah lelah untuk mencoba dan mencoba lagi. Wanita tangguh, pikirku. Karena aku (mungkin) takkan mampu menerima sebagian kegagalannya dengan segala kemudahan yang aku terima dari dulu hingga sekarang.

Teruslah berusaha, kami mendoakanmu 🙂 .

Sang Wajah Teduh

Sang wajah teduh.

Aku menemuinya di lantai atas Blok M Plaza, di tempat yang kurang layak untuk dijadikan tempat beribadah pada sebuah pusat perbelanjaan. Ya, aku menemui pemilik wajah teduh di tengah hiruk-pikuk ibukota.

Bukan di tempat mahal, dan bahkan mungkin terlupakan oleh orang yang sibuk berbelanja dan bekerja. Musholla.

Sang wajah teduh.

Bukan pengunjung yang sedang menunaikan kewajibannya di tempat itu. Beliau adalah penjaga lusinan pasang sandal kayu yang tak baru. Yang layu karena disiram air oleh ribuan kaki yang singgah.

Ku titipkan sepasang sandalku padanya. Beliau tersenyum santun dan ramah.

Ku berikan secarik kertas bertuliskan angka “55” dengan selembar uang seribu. Beliau memberikan sandalku dengan hati-hati, sandal bututku yang dijaganya penuh amanah. Sambil tetap menebarkan senyum ikhlasnya, seikhlas angin yang menyejukkan Jakarta siang itu.

Berat hati beranjak. Tapi aku harus pulang. Banyak yang ingin ku tanyakan padanya. Mendengarnya bercerita tentang kisah-kisahnya, tak akan aku bosan bertanya.

Aku pergi. Dari balik kacamata, ku berusaha memandang wajahnya lagi. Wajah yang, ahhh aku gagal menggambarkannya. Yang luar biasa. Sungguh.

Beliau menata uang ribuan tadi, dengan penuh syukur dan senyum yang tak lekang oleh materi.

Aku iri.