You’re The Risk That I Was Glad To Take

Tepat 5 tahun yang lalu, aku memutuskan untuk pergi ke negaramu. Entah firasat apa yang merasukiku, sehingga aku tanpa basa basi langsung membeli tiket murah sebuah maskapai penerbangan satu hari sebelum keberangkatanku.

Hanya sebuah tas ransel saja berisi pakaian secukupnya, mukena, sikat gigi, sabun cair, odol, peralatan make up ala kadarnya, sebuah buku dan kamera saku yang mendampingi. Aku pamit pada ibu yang terus saja meyakinkanku untuk tidak pergi sendiri. Ku cium tangannya, “si bontot udah gede, bunda. Mau nyari mantu buat bunda” jawabku asal. Aku tertawa melihat raut wajah ibu yang penuh rasa khawatir dan mencium pipinya.

Ku nyalakan iPod dan memutar lagu-lagu yang aku siapkan sebagai soundtrack perjalanan. Tujuannya? Agar ketika suatu saat aku mendengar lagu yang sama, aku bisa menyusupkan kembail cerita itu pada pikiranku.

If I could fall into the sky
Do you think time would pass me by
‘Cause you know I’d walk a thousand miles
If I could just see you
Tonight

Thousands Miles membawaku terbang meninggalkan bandara Soekarno Hatta. Dua setengah jam kemudian, kakiku pertama kalinya berpijak di Changi International Airport. Perjalanan yang tak pernah ku kira sebagai garis start takdir kita.

Aku begitu menikmati perjalanan solo yang tak pernah ingkar memfasilitasiku dengan porsi jumbo waktu untuk melihat, merasa dan berfikir. Ada sebuah paket kedamaian, yang sering ku rindukan di weekdays yang selalu berkejaran dengan deadline. Tak ada yang kurang ketika perjalanan ditemani dengan iPod, kamera saku dan buku Paulo Coelho. Tapi, akan lebih lengkap jika ada jari-jari lain yang menyusup memenuhi sela jariku.

Ku pijati kakiku di salah satu sudut Clarke Quay ditemani segelas cappuccino hangat setelah kelelahan mengelilingi Little India. Ku buka “By River Piedra I Sat Down and Wept” di posisi pembatas buku berbentuk wayang berada, halaman 47. Sinar lampu dari pinggir sungai yang memantul di gelas cappuccino, mengingatkan bahwa aku selalu diceriakan oleh sorak sorai yang seakan dipancarkan oleh lampu warna-warni malam hari. Padanya, aku jatuh cinta.

I was tried of playing the child and acting the way many of my friends did – the ones who are afraid that love is impossible without even knowing what love is. If I stayed like that, I would miss out on everything good that these few days with him might offer.

Lima hari di Singapura, dan aku masih ingin tinggal beberapa lama lagi. Chijmes di Victoria Road Downtown Core telah ku putuskan sebagai penutup cerita, kompleks bangunan bersejarah yang dulunya merupakan biara Katolik. Aku duduk di salah satu kursi dan dipayungi oleh pohon-pohon dengan tinggi tanggung di sekitar Chijmes Hall, memandang deretan gedung tua dan tinggi bergaya gothic yang seakan memaparkan kisahnya dengan jumawa.

Siang itu panas tak begitu terik, sepertinya alam merestui wedding party yang sedang berlangsung di sana. Ku ambil snack yang aku beli di perjalanan menuju Chijmes, ku nyalakan iPod dan aku bertekad untuk menamatkan buku Paulo hari itu juga, di Singapura. Sesekali aku memandang ke kumpulan orang-orang yang turut hadir di acara pernikahan tersebut, dan tersenyum. Aku turut bahagia.Tak perlu harus saling mengenal bukan untuk turut merasakan dan berbahagia atas kebahagiaan orang lain?

Already awake?” kata pertama yang aku dengar dari bibirmu.

Aku kaget dan berbalik mencari suara asing yang menyapaku. Ternyata selama aku tidur, selama itu pula kamu duduk di bangku di belakangku sambil membaca buku Paulo yang aku bawa. Kerabat dari mempelai rupanya. Oke, harus aku akui ini adalah pemandangan terindah yang pernah aku alami sepanjang sejarah kebanguntiduranku. Hidung mancung yang sempurna, rambut cepak, wajah yang bersinar dan kulit yang bersih. Perfect! Aku terlihat bak dakocan di sampingmu dengan kulit sewarna sawo yang mendekati busuk hasil travelling bulan lalu.

I worry if someone will kidnap you“, jawabmu sambil tertawa mengejek atas kecerobohanku tertidur di tempat umum, ketika dahiku berkerut-kerut seakan bertanya apa yang sedang kamu lakukan. Begitulah kamu, mulai dari awal, selalu manis di mataku. You’re nice without you try to be.

Kita berbincang, menyusuri Victoria Street menuju Bras Basah MRT station karena aku harus kembali ke penginapan. Jika memang cinta itu buta, kali ini aku rela dibuat buta olehnya. Masih dalam hitungan jam aku mengenalmu, tapi rasanya kita sudah akrab sejak bertahun lalu. Semisterius ini kah yang dinamakan takdir? Dua puluh enam tahun aku menunggu dan harus meninggalkan negaraku dulu untuk bertemu denganmu. Apapun itu, aku percaya skenario Tuhan sempurna, sesempurna kedua mata yang diberikanNya padamu. Mungkin lampu jalanan akan cemburu, karena kamu menggeser posisi mereka di hatiku.

One year, I’ll come to pick you”, pesan yang kamu ucapkan di Bras Basah dengan wajah tenang, pancaran mata yang hangat dan menenangkan. I thought the warmth of summer breeze was irreplaceable, and then I see your eyes..

Setahun berlalu, dan aku pun tak mengingat-ingat apa yang pernah kamu katakan. Kesibukan telah menyita waktu dan pikiranku. Lagi pula it’s too nice to be true. Aku hanya seorang Alia, bukan Cinderella. Dan aku juga tak ingin dinikahi oleh Prince Charming yang berkuda.

Lima belas april, tanggal yang sama dengan tanggal pertemuan kita, nomor tak dikenal menelpon berkali-kali ke handphone ku. Ku abaikan pada awalnya, karena aku pikir ulah telemarketing seperti biasa. “Alia, it’s me, David. I am in Jakarta”, tak perlu diberitahu, I knew it was you, your voice. Somehow I still didn’t believe, such a fairytale or Hollywood thing. But, God has awesome sense of art so He has beautiful scripts, right?

I was in love, I am in love since the first time we met. Orang tuaku tak mempermasalahkan perbedaan yang ada pada kita. Bukankah dunia akan sangat membosankan jika semuanya sewarna, senada?

Namun, satu setengah tahun waktu yang kita perlukan untuk meluluhkan hati ibumu, beda ras konon alasannya. Bolak-balik Jakarta Singapura berakhir tak percuma, kita mendapatkan sebuah kata: restu.

Nobody thought that we’d still be together
They all said we’d fall to the floor
No matter the fight, we’ll survive any weather
We’ll prove them wrong
Keep singing forever -Westlife

Setengah tahun berselang dari diikrarkannya restu, kamu datang ke Jakarta untuk menjemputku. “You have to help me to choose house for us”, alasanmu membawaku ke negaramu lagi. Tapi tentu saja, ku lakukan dengan senang hati. No need to ask, I am always glad.

Lagi-lagi Tuhan adalah pemilik segala skenario, kita hanya pemeran saja. “Tabrakan beruntun di Tol Sedyatmo“ judul berita yang muncul di sebuah koran. Tak perlu ku ceritakan perasaanku saat itu, aku pun tak bernyali untuk mengingatnya. I thought you’re my answered prayer. No matter what, you made me believe that fairytale can happen for those people who aren’t Cinderella nor Snow White.

Hari ini, pada tanggal yang sama dengan pertemuan awal kita, aku duduk di Chijmes, membaca buku yang sama. Mengulang kembali apa yang pernah terjadi 5 tahun lalu. Ya, aku rindu. I miss your smile, your smell, your laugh, the way you ate ice cream, the way you looked at me, the way you held my hand, my life. I miss you.

Do you want to come back?”, ucap ibumu membuyarkan lamunanku.

“Wait a moment, please”, balasku sambil tersenyum.

“It has been 3 years. You still can’t forget him”, ucapnya menatap dalam dan mengusap rambutku.

Ku ambil nafas panjang. Everything happens for reasons, I believe.

“David, let’s come back home”, aku meraih tangan lelaki kecilku itu dan menggandengnya. Lelaki yang aku adopsi setahun lalu. Kata ibumu, dia mirip sekali dengan masa kecilmu. This is my way to feel you around.

Kami bertiga pulang menuju rumah kita. Aku, David dan ibumu. Kami berpelukan, saling menguatkan. Dan kali ini Lady Antebellum yang mengiringi perjalananku pulang, I need you now.

Another shot of whiskey
Can’t stop looking at the door
Wishing you’d come sweeping
In the way you did before

It’s a quarter after one
I’m a little drunk
And I need you now
Said I wouldn’t call
But I’ve lost all control
And I need you now

Don’t cry because it’s over, but smile because it happened -Dr Seuss.

Dan, aku mencintaimu lebih dari aku mencintai lampu-lampu malam, lebih dari aku mencintai karya-karya Paulo, lebih dari aku mencintai cappuccino.
Iklan

17 pemikiran pada “You’re The Risk That I Was Glad To Take

    • @Mbak Din: makasiiiii , merci beaucoup ^^

      @Pinkih: hahahah, merci merci… Agih bikin gih *ngipasin kompor*. Daripada waktu luangmu cuma buat gangguin si om aja 😆

  1. It’s a quarter after one
    I’m a little drunk
    And I need you now

    huwaaaaaaa lagu ituuuuuuu …
    bikin gemuruh darahku meletup-letup bak cairan kental yang menunggu utk meledak …

    karaokean n nyanyi itu yuuuuuuk ….
    need a friend to do the duet, mpit!
    hehe …

    *sorry, malah ngulas lagu, jiakakakakaak

    • bentar aku tambahin dulu, copas dari ym 😆

      Eriek Rahmansyah: ceritanya dah bagus
      Eriek Rahmansyah: aku suka yang sad ending
      Eriek Rahmansyah: wkwkwkwkwkwk
      Eriek Rahmansyah: penggambaran settingnya dah mahir bgt
      Eriek Rahmansyah: padahal kamu belum pernah kesana

Habis maen komen dong :D

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s