Bulan madu saya dengan Amsterdam berakhir pada tanggal 19 Agustus 2015. Saya harus pindah ke destinasi selanjutnya yakni ke Belgia. Berat banget meninggalkan kota ini, dengan segala kemudahan transportasi, kesejukan udara, dan keindahan kotanya. Karena saya akan menggunakan kereta jam 07.10 dan mengingat para Meneer ini on time, jadi saya setidaknya jam 6 sudah keluar hotel.

Permasalahan selanjutnya adalah pagi-pagi gitu saya harus naik apa ke Amsterdam Centraal? Ketika saya cek di website, tram pertama baru mulai beroperasi jam 7. Sama Sandi sudah disuruh install aplikasi buat pesen taxi sih buat antisipasi kalau perlu. Daripada pusing-pusing, ketika check out saya nanya ke mas-mas resepsionisnya dan mendapatkan kabar gembira bahwa tram pertama yang lewat di tram station depan hotel ada di jam 06.08. Senang bukan kepalang!
Di Belgia, saya akan mengunjungi kota Antwerp, Bruges, dan Ghent (iya yang disingkat jadi ABG :p). Tujuan pertama saya hari itu adalah stasiun kota Ghent dengan rute perjalanan Amsterdam Centraal – Rotterdam Centraal – Antwerpen Centraal – Gent St Pieters dan harus berganti kereta sebanyak tiga kali dengan lama perjalanan sekitar 3 jam 23 menit. Nah gimana caranya tau dari banyak line, kereta mana yang harus kita naiki? Ga kebayang deh kalau sampai salah naik karena bisa dikira sengaja dan didenda oleh petugas pemeriksanya. Di setiap stasiun ini pasti ada layar besar yang menunjukkan jadwal dan di line mana kereta akan berada, jadi jangan sampai salah baca.
Ketika memasuki wilayah Belgia, vandalisme mulai terlihat. Dinding-dinding di jalan yang dilintasi kereta dipenuhi dengan coret-coretan, suasana daerah yang semakin sepi, ditambah dengan ga adanya bahasa inggris di sepanjang penglihatan saya, menjadikan solo trip ke Belgia ini menjadi yang paling challenging walaupun gada yang melebihi drama trip di Paris pada hari-hari terakhir saya di Eropa.
Beda banget dengan Paris dan Amsterdam, Ghent ini kota kecil. Tram juga ada sih, tapi ga jelas petunjuknya. Tram station-nya juga gada tulisannya, atau mungkin ada tapi tidak terbaca mata yang emang perlu effort buat traveller baru yang belum pernah ke sana. Kotanya juga sepi banget. Di sepanjang perjalanan saya berusaha mencocokkan jalanan yang saya lewati dengan map yang saya dapatkan di Gent St Pieters, dan saya clueless. Daripada ntar nyasar atau kebablasan, saya berinisiatif untuk menuliskan tram station yang saya tuju di kertas dan menunjukkannya kepada pak supirnya karena saya juga ga yakin gimana cara mengejanya.

Saya menginap di Kaba Hostel, dan sesuai petujuk yang ada di web hostel tersebut saya harus turun di Gent Zuid. Supirnya paham apa yang saya maksud dan dia bilang kalau dia ntar juga turun di sana kok. Legaaa banget :D.
Setelah sampai di Kaba, saya langsung check in dan wajah pria yang sedang ngecek passport saya (kemungkinan adalah owner yang juga mengurus hostel ini) excited ketika tau saya dari Indonesia. Dia cerita kalau tahun 2012 dia juga keliling Indonesia selama dua minggu. Dia menyebutkan tempat-tempat yang memang menjadi tujuan wisata di Indonesia seperti Yogyakarta, Gunung Bromo (yang saja aja belum pernah ke situ), Bali, dan Lombok. Wow!
Setelah merapikan kasur (iya, di sini saya musti masang seprai dan bed cover sendiri) saya mulai jalan untuk melihat apa aja yang ada di Ghent dengan bermodalkan map yang saya ambil dari Kaba. Hari sudah mulai siang dan saya mulai lapar, saya memutuskan mencari toko yang menjual kentang goreng. Kata Kenny saya musti nyobarin frites dan ternyata di tourist map emang ditandai tempat-tempat yang menjual frites. Bedanya frites yang dijual di sini dengan yang ada di Jakarta adalah kentang yang digunakan segar. Lumayan banget buat ganjel perut karena saya perlu energi untuk keliling Ghent.

Frites pertama saya dapatkan di toko seberang Sint Jacobskerk. Walau sudah siang, kota ini tetap sepi dan membuat saya wondering di mana para turis berada. Setelah selesai makan, saya berjalan mengikuti map yang ditandai dengan letak bangunan-bangunan bersejarah dan objek wisata lainnya. Saya mulai menemukan keramaian penduduk lokal yang berbaur dengan turis di Gravensteen yang merupakan kastil di tengah kota Ghent.

Selain bangunan-bangunan bersejarahnya, Ghent juga menawarkan wisata dengan menggunakan perahu. Terlihat antrian para turis di tempat pembelian tiket dan di resto di sekitar kanal. Cantik banget emang kota ini walau terkesan misterius.

Setelah gempor jalan kaki keliling Ghent, sebelum hari benar-benar gelap saya bertekad sudah harus sampai di hostel. Di sepanjang jalan menuju hostel, saya tidak melihat adanya lampu jalanan. Serem banget kan kalau sampai nyasar dan hari sudah gelap gitu. Entah traveller baik-baik, yang sebelum malem aja sudah pulang, atau emang traveller manula yang butuh banyak istirahat ya saya ini :D. Oh ya, ga cuma Amsterdam loh yang punya red light district, tapi di kota A-B-C yang saya kunjungi juga punya ternyata. Wow banget!
Hal yang saya perhatikan selama di Ghent adalah pejalan kaki menjadi raja. Setiap melihat pejalan kaki, mobil dan bus akan segera melambat dan mempersilakan pejalan kaki untuk menyeberang terlebih dahulu walau ga ada lampu lalu lintas. Karena di Jakarta beda banget keadaannya, saya sempat mengalami culture shock dan berhenti ketika ada mobil yang lewat, dan saya baru berjalan lagi ketika pengendaranya mempersilakan saya untuk menyeberang terlebih dahuhu. Emang etika dan budaya warga di sini kali ya :).

Keesokan harinya, 20 Agustus 2015, saya mengunjungi Bruges dengan menggunakan kereta. Bruges relatif lebih ramai dibandingkan Ghent. Ketika sampai di Bruges, hal yang pertama kali saya lakukan adalah mencari toko kue untuk membeli air putih. Alergi saya kumat :(.
Hal yang membuat saya iri dengan penduduk Bruges adalah banyaknya taman kota yang tersedia di sana, dan tentu saja udaranya yang sejuk dan bersih. Di tourist map Bruges ada banyak tempat yang ditandai dengan gambar hati, yang ternyata adalah tempat yang dianggap romantis dan di map legend-nya dituliskan sebagai “place to kiss”. Uuuuuuu… *speechless karena solo traveller*
Salah satu pusat keramaian di Bruges adalah Grote Markt atau Market Square. Di sana saya melihat ada Historium Brugge, tur yang mengisahkan sejarah kota ini dengan panduan audio selama satu jam yang tersedia dalam 10 pilihan bahasa. Keren banget isinya, kita bisa belajar sejarah sekaligus merasakan pengalaman 4D jadi berasa ikut menyaksikan terjadinya sejarah tersebut.

Rooftop Historium ini juga dibuka untuk pengunjung sehingga bisa mengambil foto dan menikmati keindahan bangunan dan suasana di sekitar Grote Markt, termasuk kegagahan Belfort yang merupakan salah satu simbol kota Bruges yang dibangun pada tahun 1240 ketika Bruges masih makmur dan menjadi pusat industri kain yang penting.

Di sekitar Grote ini banyak toko makanan dan toko pernak pernik yang layak banget buat dijajanin. Yang wajib banget untuk dicobain adalah pancake dan minuman coklat spesial, apalagi saat itu sedang hujan.

Setelah merasa cukup mengelilingi Bruges, saya kembali ke Kaba Hostel di Ghent karena keesokan hari harus pindah untuk menginap di Antwerp sebagai kota terakhir di Belgia yang akan saya kunjungi.
Menikmati kota Antwerp ini juga effortless, ke mana mata memandang terlihat banyak hal yang indah. Antwerpen Centraal aja bangus bangeeet! Dari sini untuk menuju ke hostel yang ada di tengah kota Antwerp bisa menggunakan tram.

Saya sempet kebingungan baca map untuk mencari Antwerp Central Youth Hostel, tempat saya menginap. Jalan tempat hostel itu berada tidak ada di map, sementara saya sudah di sekitar lokasi tersebut. Tiba-tiba ada pria sekitar 40 tahunan yang mendatangi saya ketika dia tau saya kebingungan. Dia bilang kalau peta di Belgia emang rada aneh, dia menemukan banyak traveller yang kebingungan seperti saya.
Awalnya ada rasa takut untuk menerima bantuan dari pria tersebut, mengingat banyak berita negatif tentang tourists scam dan sebagainya. Dia bertanya apakah saya berasal dari Indonesia. Saya kaget banget kok bisa tebakan dia benar. Saya makin parno. Ketika saya tanya “kok tau kalau saya dari Indonesia?”, dia menjawab kalau dia hanya berasumsi saja mengingat saya berwajah asia, berhijab, dan Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Alhamdulillah ketakutan saya tidak terjadi, saya diantarkan ke hostel yang benar dan pria tadi memang berniat menolong semata. Hostel ini emang rada kampret, karena saya tidak menemukan plang atau tanda apapun yang menunjukkan kalau bangunan yang ada di pojokan tersebut adalah sebuah hostel. Mehhhh..
Setelah meletakkan tas, check in, dan curhat ke Sandi sekalian menginfokan kalau saya sudah sampai dengan selamat di Antwerp, saya mulai menentukan tujuan pertama di kota ini yakni ke MAS (Museum Aan De Stroom) yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. MAS ini berisi gambaran sejarah kota Antwerp ketika jaman peperangan dan jaman kejayaannya, yang merupakan kota di atas air dan pelabuhan penting. Masa kelam Belgia sebagai hasil Perang Dunia I juga digambarkan di sini.

Ketika menginap di Antwerp, saya mendapatkan female dorm yang berisi enam bed dan sudah pasti saya penghuni yang pulang paling awal. Ada teman sekamar yang mau pergi jalan pas saya sudah mau tidur dan dia memakai sepatu heels yang menimbulkan suara-suara berisik ketika berjalan. Nah si mbak ini orang Belgia tapi juga turis di Antwerp karena dia tinggal di daerah lain. Dia berusaha berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa inggris yang terbata-bata. Intinya dia mau pergi dan akan memastikan saya ga kebrisikan waktu dia pulang. Manis banget si mbak apalagi ketika dia sulit menemukan kata yang dia maksud ketika berbicara dengan saya yakni “I wont bother you and try not to wake you up when I come back” :).

Setelah semua pengalaman baru yang saya dapatkan, termasuk perasaan deg-degan dan takut setiap kali berada di tram bawah tanah di Antwerp ini karena sepi banget, ada rasa senang tau bahwa saya akan segera kembali pulang ke Jakarta sekaligus rasa sedih harus mengakhiri solo trip. Masih ada banyak hal yang ingin saya lihat sebagai world citizen.
Travel is not wanting to sleep because for once reality is more interesting than your dream – Critical Eleven
And at that time, I think I’m not ready to go home. Not yet.
Kece bgt semuanya ya dN Nama Sandy udah mulai muncul di blog dong hihi
Iyaa Mbak keren banget. Haha nama dia udah sejak beberapa post lalu munculnya karna sbg visitor yg rajin 😄
Wah keren..tp seenk enk nya di eropa mas enk d indo..terutama makananny..cm bedanya dsna lebih disiplin n rapih..
iyaaa kalo di Indo menang makanannya. Di sana beberapa hari saja saya udah turun berat badannya. Karena faktor makanan dan juga banyak jalan juga sih 😀
disana banyak pedestarian ya.makanya tubuhnya bule itu bagus2..makanannya gak banyak n banyak jalan.klo disini makan banyak keringetan mbak wkwkw
Kalo di sini sepedaan ke kantor bisa kena penyakit saluran napas karena ngisep asep kendaraan hahaha. serba salah Mas 😀
klo di luar kan adem, hawa mendukung
ngiler liat poto dan kebersihan kotanya, kapaaaan ini bisa ke eropa. hahahaha
aamiiin aamiin semoga suatu saat kesampean 😉
Aahh terima kasih udah memberikan banyak alasan buat saya untuk main ke Belgia!
Ternyata selain Brussels masih ada kota lain tang jauuh lebih menarik!
my pleasure, banyak yg bisa dieksplor di sana. Kalo Brussels rasanya terlalu mainstream 😀 Selamat jalan-jalaaaan 🙂
[…] dengan baik. Beberapa tempat yang saya kunjungi di tahun 2015 adalah: Penang, Paris, Amsterdam, Belgia (Antwerp, Bruges dan Ghent), Stone Garden, keliling Menteng, blusukan ke China Town di Glodok, dan jalan-jalan di City […]
[…] hobi seperti membaca buku, ngeblog, nonton film, atau lainnya. Sementara weekend bisa dipakai untuk traveling, dan berkumpul bersama keluarga atau significant other. Cara ini berguna untuk menjauhkan rasa […]
Keren banget mbak. Aku lagi nyari2 soal Belgia eh ketemu kamu. Gimana bisa Solo Traveler gitu si T,T
mba, kalo saya cuma punya semalam di Belgia , sarannya nginep di brugge atau di Gent yaa? sebelumnya saya dari paris dan habis dari belgia mau ke Amsterdam. Baca artikel mba diatas kok jadi ngeri nginep di gent (sepia ). thanks ya .
Di Brugge aja Mbak, bagus banget kotanya 😍