“Travel is finding out more reasons to write. And more reasons to live” – Critical Eleven
Alat Transportasi di Paris
Selama di Paris, alat transportasi yang saya gunakan ada empat; RER yang berhenti di stasiun-stasiun tertentu termasuk dari airport ke tengah kota Paris, kereta Grandes Lignes untuk ke negara lain (saya menggunakan Thalys), metro untuk keliling Paris dengan tarif 1.8€ untuk satu tiket, dan kaki sendiri tentunya dengan risiko betis jadi gedean bak kentongan. Lebih lengkapnya tentang public transportation di Paris bisa dibaca di sini. Aplikasi yang bisa digunakan sebagai panduan adalah Visit Paris by Metro – RATP dan bisa didownload dari Play Store. Sebaiknya download peta rute metro juga untuk backup atau minta print out ke petugas di metro station jaga-jaga kalau baterai hp habis.
Amsterdam, 16 Agustus 2015
Setelah menghabiskan waktu dua hari di Paris (walau masih belum puas keliling-keliling), saya harus berangkat ke Amsterdam pada 16 Agustus 2015. Saya menggunakan kereta Thalys dari Gare du Nord (atau biasa disebut dengan Paris Nord) ke Amsterdam Centraal yang berangkat pada jam 08.25. Dari Generator Hostel (metro station Colonel Fabien) ke Gare du Nord dapat menggunakan metro line 2 dan berhenti di La Chapelle metro station karena tidak bisa langsung turun di Nord. Ada kanal bawah tanah yang menghubungkan La Chapelle dengan Nord, jadi jalan terus aja hingga menemukan petunjuk ke Grandes Lines. Kanalnya emang panjang banget dan berasa bikin gempor karena saya juga harus menggendong carrier.
Line untuk kereta Thalys dan kereta antar negara lainnya berada di atas, sementara metro ada di bawah tanah. Yang perlu diingat kalau traveling ke negara Eropa adalah kedisiplinan mereka dalam waktu. Jika di jadwal dituliskan jam 08.25 maka jangan coba-coba untuk molor walau satu menit jika tidak ingin membeli tiket baru dengan harga 51€. Wifi juga tersedia di dalam kereta dengan biaya tambahan, dan tentunya saya tidak mau membeli paket tersebut. Perjalanan selama 3 jam 17 menit saya pergunakan untuk melihat pemandangan yang dilewati dan tidur pastinya. Sebagai traveller lansia, seperti istilah Ditto, maka saya memerlukan istirahat yang cukup untuk menjaga badan agar tetap fit.

Saya tiba di Amsterdaam Central pada jam 11.42. Di dalam stasiun saya melihat sekelompok bule-bule yang nuntun sepeda. Lucu sih walau rada aneh kok bisa bawa sepeda gitu :D. Setelah saya keluar dari stasiun, saya menikmati udara kota yang segar sekaligus bengong takjub melihat arsitektur bangunan Amsterdam Centraal yang overrated untuk sebuah stasiun apalagi jika dibandingkan dengan yang ada di Indonesia *disepak*. Walaupun pertengahan Agustus seharusnya masih summer, tapi sejak di Paris udah hujan dan dingin, begitu juga ketika saya sampai di Amsterdam udah mulai gerimis. Berasa pengen minum segalon tolak angin biar badan anget >.<.

Saya bergegas menuju Amsterdam tourist office yang berada di depan Amsterdam Centraal, bangunan rumah berwarna putih dengan tulisan I amsterdam, untuk mengambil I amsterdam City Card. Oleh Kenny saya dibelikan 48 hours city card yang bisa digunakan untuk mengakses tram dan tempat tujuan wisata selama 48 jam terhitung sejak kartu tersebut pertama kali digunakan, dengan harga 59€. Di tempat ini juga bisa membeli OV chip card yakni alat pembayaran elektronik untuk transportasi umum. Tiap naik turun tram, kartunya harus di-scan pada alat yang diletakkan di depan pintu. Oh ya, pintu untuk naik dan turun tram ini berbeda yah, karena dalam satu tram ada beberapa pintu. Kalau salah sih ya ga masalah, paling ya malu aja sih :p.

Tram di Amsterdam adalah kendaraan umum favorit saya selama traveling ke Eropa Barat ini. Aksesnya yang mudah, tram yang bersih, dan terdapat monitor yang menunjukkan rute perjalanan dan posisi tram saat itu benar-benar membantu penumpang terutama bagi traveller. Selama di Amsterdam, saya menginap di Student Hotel di Amsterdam West yang ada tram station di depannya persis yakni Jan van Galenstraat line 13. Di hotel ini saya mendapatkan kamar sendiri, tidak seperti di Paris yang menggunakan dorm.

Ketika tiba di hotel, Amsterdam sedang hujan. Hujan bikin hati mellow banget apalagi sedang traveling di negeri orang dan sendirian. Mellow karena musti make sepatu yang basah padahal di sana lagi dingin dan juga jadi agak susah kalau mau ke mana-mana. Saya sampai di hostel sekitar jam satu siang dan belum bisa check in karena jam mulai check in adalah jam 15.00. Hotel ini punya cafe yang cozy, jadi saya bisa makan siang di sana sambil nunggu hujan agak reda. Pembayaran di cafe-nya ga bisa pake cash, jadi saya pake credit card.

Carrier yang ga enteng itu saya titipkan di resepsionis, karena sayang banget udah sampai sini kok ga keliling dulu padahal belum bisa tidur check in juga. Seperti sebelumnya, saya pergi tanpa itinerary dan Kenny berbaik hati mengirimkan to visit/to do list. Saya bukan pergi tanpa planning, tapi emang lebih ke “mengikuti kehendak hati” mau ngapain aja di sana *alasan aja padahal males*. Toh di negara-negara yang saya kunjungi tourism maps nya lengkap, tinggal disesuaikan saja dengan preferensi tempat-tempat yang mau didatengin. Apalagi di Amsterdam, ke mana mata memandang tetap membuat saya jatuh hati. Selama di sini, saya menggunakan aplikasi Amsterdam Public Transport untuk petunjuk jalan.
Tempat pertama yang saya kunjungi di Amsterdam adalah Rijksmuseum. Di depan museum ini ada public space yang biasa digunakan turis untuk meletakkan eksistensinya kalau memang udah sampai di Amsterdam yakni berfoto di depan tulisan I amsterdam :p. Sore itu tempat ini digunakan untuk street attraction yang menarik banyak penonton, sejenis atraksi dance gitu deh. Habis dari Rijks, saya menuju ke Anne Frank Huis sekalian searah jalan pulang ke hotel. Ini hasil info dari Sandi waktu dia trip ketemu scientist yang berasal dari Belanda, yang menyarankan untuk pergi ke Anne Frank kalau sedang berada di Amsterdam.
Ketika sampai di gang tempat Anne Frank Huis berada, saya melihat antrian yang mengular naga panjangnya. Jadilah saya yang males berdiri lama buat antri karena takut kena encok mengurungkan niat untuk menambah antrian. Sisa sore itu saya habiskan untuk jalan kaki di Bloemgracht menuju hotel dan menikmati kota yang dipenuhi dengan pengendara sepeda yang mengayuh sepeda agak cepat karena udara di luar yang mulai dingin. Setelah sampai di hotel saya sudah bisa check in, menikmati wifi buat upload foto ke instagram, dan tentunya voice/video call sama si mas. Dinner di cafe hotel tetap tanpa nasi di hari ke-4 saya traveling. Saya mulai homesick karena kangen sambel dan nasi *perut ndeso*.
Amsterdam, 17 Agustus 2015
Untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia, saya mengunjungi negara yang konon kabarnya menjajah Indonesia. Emang sengaja banget diatur pas tanggal 17 Agustus saya berada di Belanda dan saya menggunakan outfit bernuansa merah biar terkesan nasionalis :p dan ga lupa pulang.
Paket breakfast bisa dibeli di hotel dengan membayar sekitar 7€ (lupa tepatnya) yang berisi sandwich, buah segar, jus, croissant, dan kopi/teh. Untuk jenis makanannya disediakan beberapa variasi jadi kita bisa milih. Jusnya enaaaaak dan seger banget, bikin lupa kalau belum punya mertua :p. Hari kedua di Amsterdam, saya janjian dengan Deny untuk mengantarkan buku yang dipesan dari Jakarta sekaligus minta makan. Masalah minta makan ini yang utama karena saya udah kangen banget sama makanan Indonesia dan masakannya Deny enak banget apalagi saya sudah lima hari ga menikmati nasi T_T. Kami baru pernah ketemu muka satu kali waktu sama-sama ikut sebagai volunteer di acara sosial. Salah satu berkah menjadi blogger, bisa dapet makan dan tebengan gratis, menambah networking dan silaturahmi sebagaimana yang terjadi dengan saya dan Deny, juga dengan Mbak Nonik waktu dulu saya dinas ke Medan. Bisa langsung akrab. Magic!

Kami janjian ketemu di Den Haag Centraal jam satu siang. Setelah selesai sarapan, di bawah hujan saya menuju ke Amsterdam Centraal untuk menikmati Canal Cruise, melihat kota Amsterdam dari dalam kapal beserta informasi menarik tentang sejarah bangunan di sekitarnya. Saya menggunakan Holland International yang free dengan I amsterdam city card, tapi jika tidak punya card tersebut harus membayar 16€. Emang disarankan banget menggunakan city card ini, karena jatuhnya bakal lebih hemat untuk budget traveller.

Gimana cara ke Den Haag dari Amsterdam Centraal? Saya menggunakan inter city train, yang menghubungkan kota-kota di Belanda dengan waktu tempuh 46 menit. Tiketnya bisa dibeli via mesin (menggunakan credit card) atau di service counter (bisa dibayar dengan cash). Daripada repot beli tiket pulang, saya beli tiket pp dengan harga 22.40€. Di dalam kereta ini ada free wifi juga. Duuuuh iri banget sama orang-orang yang tinggal di Belanda dengan fasilitas umumnya. “Meniiiiiir, aku mau tinggal di sini!”.

Semua jadwal kereta terpampang jelas di layar monitor jadi kita tinggal menunggu di line yang sudah ditentukan. Den Haag Centraal sendiri lebih mirip mall daripada stasiun :D. Yoolo…

Hujan belum berhenti juga tapi kami kekeh buat keliling kota Den Haag dengan Deny sebagai guide-nya. Setelah foto-foto di beberapa spot termasuk di gedung yang kabarnya menjadi tempat diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar dan taman milik kerajaan Belanda yang dibuka untuk umum, kami yang kelaparan menuju apartment tempat tinggal Deny dan Mas Ewald buat menghangatkan diri. Dengan ga tau dirinya, saya duduk-duduk nunggu Deny kelar masak dan langsung menikmati soto ayam dan ikan yang dimasak enaaaaaak banget. Saya terharu pengen nangis saking kangennya sama masakan Indonesia. Setelah kenyang *usap-usap perut* saya pamit pulang dan masih juga dibekali brownies sama Deny, takut saya kurus kelaparan kayaknya :p.

Banyak yang menanyakan apa saya ga takut pergi sendirian ke negara yang belum pernah saya kunjungi. Di Eropa Barat ini infrastukturnya udah bagus banget, petunjuk jelas, selama bisa baca tulis dan komunikasi dalam bahasa inggris menurut saya ga perlu takut. Dengan pergi sendirian malah membuka peluang untuk menjalin pertemanan dan buat refleksi tentunya.
Waterland, 18 Agustus 2015
Ritual sebelum tidur selama trip adalah membaca referensi untuk merencanakan ke mana saya akan pergi keesokan harinya. Setelah melihat-lihat beberapa info termasuk capture instagram dari Kenny, saya memutuskan mengunjungi Waterland. Bagaimana cara ke Edam dari Amsterdam Centraal?

Bus EBS 314 berwarna merah dengan tujuan Hoorn di platform B Amsterdam Centraal bisa membawa kita ke sana. Tiketnya dibeli di supir bus dengan harga 10€ untuk satu hari. Di bus ini ada free wifi-nya juga. Luar biasa, Menir, luar biasa! Tujuan utama saya di Waterland adalah Edam. Kesan pertama ketika saya sampai di Edam adalah “ya Rabbi, pengen KPR dan pensiun di sini!”. Bangunan rumah-rumah di sana rapi dan kecil-kecil, suasananya tenang, bunga warna warni di mana-mana, dan udaranya segar. Siang itu saya menatap iri pada seorang nenek yang terlihat sedang menyirami tanaman yang ada di belakang rumahnya :(.

Di Edam banyak terlihat toko yang menjual keju, karena saya ga gitu doyan keju jadi ga perlu nyoba-nyoba. Setelah puas memotret dan menghayal pensiun di Edam, saya mampir ke toko yang menjual post card untuk dikirim ke US. Entah kenapa post card dari Edam ke US bisa sampe ke tujuan dalam waktu satu minggu, sementara dari US ke Jakarta hampir satu bulan baru sampe. Hufff…

Kelar dari Edam, saya kembali ke Amsterdaam dan berniat mengunjungi Openbare Bibliotheek Amsterdam (OBA) yakni perpustakaan umum yang berada sekitar 10 menit jalan kaki dari Amsterdam Centraal. Perpusnya keren bangeet dan bikin betah karena banyak hot dudes reading *ditoyor dari Milwaukee*. Di OBA bisa menikmati pemandangan kota Amsterdaam dari cafe yang ada di rooftop dan yang paling penting saya dipertemukan kembali dengan nasi! Terakhir, saya menyempatkan datang ke Puccini di Staalstraat yang kabarnya adalah toko coklat terbaik di kota yang juga punya kedai kopi di sebelahnya. Karena saya ga pengen makan coklat, saya ngopi-ngopi aja untuk menghangatkan badan. Saya ga ke Red District? Tidaaaaak, bukan takut dosa sih tapi lebih ke takut minder sama mbak-mbaknya :p.

Meskipun Amsterdam ujan mulu, tapi jarang terlihat genangan air di jalan karena ada petugas yang membawa mobil untuk nyedot air-air genangan itu. Amazing, Meniiiir!
Hasil dari traveling selama di Eropa ini adalah saya lebih menghargai makanan Indonesia, mulai belajar masak sendiri atau ikutan cooking class, yang dulunya dari stasiun Sudirman ke GI naik taksi sekarang jalan kaki, dan beberapa perubahan kecil lainnya. Kelanjutan cerita traveling ini akan saya tuliskan di postingan berikutnya, termasuk kisah dramatis ketika kembali ke Paris.
Kalau kamu, traveling ke mana yang paling berkesan?
#TravelerManula kak, kalo lansia itu kesannya….. *yo podho ae sik* *dijitak* x)))))
Aaakk itu foto view Amsterdam yg dari OBA kece bangeeeet :3
Oh iya. Pantesan kok ada yg kurang rasanya mwahahahah. Traveller Manula 😂😂😂
wah udah sepuh tetep traveller, keren deh ibu yang satu ini..
Waaaak saya masih embak2 koooook masih lajang juga *curhat* hahahah. Cuma seru aja kalo dibahasain traveler lansia. Makasih udh mampir
Ditunggu mampir kembalinya 🙂
aku yang paling berkesan travelling ngintilin blogger kondang chocky sihombing mbak,,terus travelling dari DC ke gedung Annex utk meeting berkesan juga mbak
Mampir ke Red Light nggak mbak? hehe
Nyaris tapi mengurungkan niat takut minder sama perut rata mbak2 di sana hahahah
[…] Eropa Barat adalah salah satu impian saya sejak dulu, terutama Belanda. Belanda benar-benar mencuri hati saya. FIlm ini mengambil lokasi syuting di beberapa kota di […]
[…] manfaatkan dengan baik. Beberapa tempat yang saya kunjungi di tahun 2015 adalah: Penang, Paris, Amsterdam, Belgia (Antwerp, Bruges dan Ghent), Stone Garden, keliling Menteng, blusukan ke China Town di […]