Be Careful With Your Words, God Hears.

Warning: tulisan yang lumayan panjang, dan (mungkin) membosankan ;).

Saya memandang langit Jakarta dari lantai tiga gedung menjulang yang tampak kokoh dengan logo tiga warnanya yang membuat orang mengenal gedung ini dengan mudah. Saya begitu menikmati posisi duduk ini, 3 minggu. Bersebelahan dengan kaca, membuat saya bisa melihat satu sisi Jakarta dengan leluasa. Mendung, terik, hujan, deretan mobil yang di parkir, Istiqlal dengan menara yang menjulang bersanding mesra dengan Katedral. Mereka berjarak, namun dekat.

Tiap kali menjadi penumpang TransJakarta yang menuju ke Harmoni, ada satu titik di mana pemandangan yang terlihat di depan saya hanya ada 3 bangunan menjulang: gedung yang sekarang saya tempati, gedung Kwarnas dan Monas. Teringat pula ketika saya harus merasakan berdiri berdesakan menjadi penumpang TransJakarta menuju Ratu Plaza, yang kontras dengan bis jemputan yang setia menjemput di hari kerja: leluasa, tak perlu berdiri ataupun membayar.

8 bulan lalu, saya mengantar dua orang teman untuk membeli tiket kereta mudik lebaran. Lalu kami berjalan menuju halte TransJakarta Gambir 2 untuk menuju Kuningan. Kami menengadahkan kepala memandang gedung perkantoran menjulang di sekitar sana. Entah siapa yang menyeletuk “kantor impian”, sambil terkekeh geli dan memandang gedung di mana saya berada sekarang. Dan ketika itu saya hanya menimpali “iyah, kapan bisa ngantor di situ ya?” dengan asal.

Entah apa yang mendorong saya, ketika saya sedang di rawat inap karena gejala tipes, untuk memasukkan lamaran online ke perusahaan ini. Iseng? Penasaran? Mungkin lebih ke keingintahuan tentang seberapa besar kompetensi yang saya miliki, karena sebelumnya saya pernah mencoba mengikuti tes di sebuah departemen dan saya dilepeh begitu saja. Mungkin Tuhan takut saya akan korupsi di sana. Mungkin.

Saya ingat betul, tes pertama adalah awal Ramadhan. Berat sekali rasanya setelah sahur harus berangkat ke Jakarta di pagi buta. Ketika itu saya berkata “Ya Allah, bolehkah jika saya memilih untuk puas dengan berada di sini saja?”. Namun teman-teman sekos saya tidak merestuinya, dan berangkatlah saya.

Tes pertama saya lalui tanpa persiapan apa-apa. Ngeprint CV pun saya lakukan sebelum berangkat dan atas kebaikan hati Mbak ini saya bertamu ke rumahnya jam 5 pagi. “Kan memang ingin mengetahui kemampuan saja”, alasan saya tidak belajar apapun waktu itu. Hasil tes ternyata diumumkan pada hari yang sama. Deg-degan? Iya. Karena walaupun nothing to loose, ini adalah kompetisi. Saya, bagaimanapun juga, enggan untuk kalah jika memang saya bisa mendapatkan yang baik. Saya lolos. Dan saya bingung, harus berkelit apa kepada atasan saya, 2 hari ijin kerja? Yang benar saja!

Tes kedua, saya tidak belajar lagi karena tidak mengetahui tipe soal yang akan diberikan. Oke, saya setuju untuk be spontaneous saja. Sempet shock karena peserta lainnya membawa dan membaca buku sebelum ujian. Saya kerjakan sebisanya bahkan ada yang “tidak perlu melihat soal” alias nembak, “toh tidak ada pengurangan nilai” kelit saya pada diri sendiri. Pengumuman pada hari yang sama, saya lolos (lagi). Dan tinggal menunggu undangan selanjutnya.

Dua minggu kemudian surat undangan MCU datang. MCU dilakukan setelah lebaran. Jadi saya mudik dengan membawa sepatu olahraga untuk latihan lari. 1 bulan setelah MCU, undangan Interview User mampir di email saya. Lagi-lagi, saya tampil apa adanya. Dengan kemeja hasil berburu diskon di Centro, karena saya memang sebelumnya tidak bekerja di kantoran, jadi wajar jika jumlah kemeja saya (amat sangat) minim sekali. Syukur-syukur tidak ada label “ndang balekno” alias barang pinjaman. Pengumuman kelolosan akan dikabarkan dikemudian hari.

Masa-masa ini saya mulai sedih, biasalah wanita agak berlebihan. Tapi memang saya sedih membayangkan meninggalkan perusahaan lama dan teman-teman. Kalau dipikir-pikir kok ya congkak sekali mendahului takdir, padahal pengumuman Interview User saja belum diterima, dan masih ada beberapa tahapan tes lagi. Dan rupanya saya takut kalau saya diterima.

Sejak saat itu setiap kali surat undangan tes datang, saya menangis, bimbang tepatnya. Dan tangisan yang paling menjadi-jadi adalah ketika undangan Interview Top Management Fungsi datang. Saya belum siap. Saya belum siap membenturkan mimpi, rencana, dengan keinginan untuk membahagiakan orang tua dan hal yang datang di luar perkiraan saya. Ibu saya hanya pernah berucap “ibu pengen anak ibu ada yang jadi pegawai negeri”. Bayangan saya sebelumnya adalah saya akan tetap bekerja di perusahaan lama, les bahasa prancis, sampai saya mendapatkan kesempatan untuk kuliah lagi.

Saya menangis kepada bapak di telpon setelah saya menangis dari awal hingga akhir sholat isya saya. Bapak hanya tertawa ringan dan berujar “kamu itu lo kok malah nangis, padahal ini kan rejeki, tidak semua orang diberi kesempatan ini”. Saya begitu mengagumi sikap bapak yang sering melegakan hati saya. Meskipun, jujur, saat itu bapak (menurut saya) tidak fair karena cenderung untuk mengarahkan saya mengambil kesempatan ini. Mengingat beliau adalah satu-satunya pria di keluarga saya, mungkin begitulah pria, logis, berbeda dengan perempuan yang banyak menggunakan perasaan.

Saya menghadap Vice President sebagai interviewer tes terakhir saya. Beberapa pertanyaan dari beliau datang dengan membolak balik dan memberi catatan pada kertas CV saya. Entah apa tulisan yang beliau ukir di sana. Pertanyaan seputar latar belakang pekerjaan, pendidikan, apa yang saya lihat pada diri saya 15 tahun mendatang, apa yang akan saya lakukan jika saya ingin menjadikan angan-angan saya itu nyata, apa yang bisa saya berikan pada perusahaan, saya jawab dengan jujur dan seadanya karena saya tidak ingin berbual demi bisa memenuhi kriteria yang ditetapkan perusahaan dan menjadi karyawan di sini. Karena saya sadar akan kapabilitas dan keterbatasan yang saya miliki.

Tanggal 18 November 2010 jam 3 sore saya ditelpon bahwa saya keesokan hari jam 8 harus datang ke Kantor Pusat untuk menandatangani kontrak. Lemas rasanya. Bahagia, lega, sedih, bimbang, semua rasa lebih dari nano-nano, asem manis pahit. Saya masih ada kesempatan jika memang ingin mundur. Namun sepertinya tidak ada pihak yang setuju setiap kali saya mengutarakan pendapat saya untuk tidak menghadiri undangan itu. Saya berfikir lagi, dan lagi.

Akhirnya setelah mengajukan banyak pertanyaan kepada pihak HR, termasuk kesempatan kuliah lagi dan penalti jika saya ingkar atas kontrak, telpon dan sms kepada kakak-kakak saya untuk meminta dukungan, saya menandatangani kontrak itu. Dan di sinilah saya berada sekarang. Menjadi bagian kecil hiruk pikuk ibu kota. Di luar rencana saya, terwujud apa yang pernah saya katakan.

Kakak saya pernah berpesan “berdoalah secara spesifik”. Mungkin ucapan saya saat menuju halte Gambir 2 termasuk di dalamnya. Dan saya menganggap ini adalah pilihan Tuhan yang baik menurutNya bagi saya. Karena saya telah sangat-sangat meminta dengan melebihkan beberapa sujud saya dari biasanya dari awal tes “jika memang ini bukan hal yang baik bagiku ya Rabb, jangan loloskan aku dari awal”.

Dan saya masih menunggu, rencana apa yang Tuhan hendak pertunjukkan (lagi) kepada saya. Apa yang ada di depan hanya satu yang pasti: tidak mungkin Tuhan memberikan di luar batas kemampuan yang Dia percayakan kepada saya.

6 pemikiran pada “Be Careful With Your Words, God Hears.

  1. amazing true story.. semoga pekerjaan kali ini menjadi barokah buat mpit dan semoga cita2 nya menjadi penulis terwujud dan menjadi rencana tuhan di masa depan.. amiinn

  2. kereeen!! kalo aku tetep percaya 1 hal sih mpit, “everything happens for a reason”

    karena udah sering banget aku kejadian seperti itu… kita mau ngotot kaya apa, mungkin jawaban dari Tuhan sedikit berbeda karena alasan2 lain… 😉

    • hihii makasih atas compliment nya 😀

      Benar, aku juga selalu ingat kata-kata itu. Semuanya balik lagi ke bagaimana cara kita mengambil kebaikan dan manfaat di setiap kejadian. Makasih yaaa ^^

  3. Setuju.. berhati-hatilah saat berucap..
    Pengalaman yang sama saat “mencoba-coba” melamar ke salah satu BUMN, 2008 silam.. alasan sebenarnya hanya menemani seorang sahabat yang waktu itu belum mendapat pekerjaan.. dan alhasil Allah menunjukkan rencananya dengan tepat.. memang benar aku selalu saja lolos sampai akhirnya dipanggil interview tahap terakhir.. seleksi dengan para VP di Top Management.. tapi karena Allah memilihkan jalan yang lain untuk tetap di perusahaan yang lama ini untuk bertemu jodoh.. aku pun tidak lolos di seleksi penentuan terakhir ini..
    Sekali lagi, Allah menunjukkan skenario hebatnya atas ucapku yang mengikuti tes seleksi ini untuk menemani sahabatku.. benar-benar hanya menemaninya sampai tes seleksi selesai..
    Allah memang sutradara yang hebat.. alhamdulillah.. 🙂

Tinggalkan Balasan ke M@he Batalkan balasan